HIKAYAT
LEMBU MANGKURAT
Oleh
H.G. Mayur, S.H.
SAMBUTAN KEPALA PERWAKILAN DEPARTEMEN
P DAN K
PROPINSI KAL-SEL MENYAMBUT TERBITNYA
BUKU
HIKAYAT LEMBU MANGKURAT
Suatu kehormatan bagi
saya untuk memberikan kata sambutan pada suatu buku “HIKAYAT LEMBU MANGKURAT”
yang disusun oleh seorang putera dibumi lembu mangkurat yang cukup dikenal
namanya yaitu saudara Gusti Mayur S.H.
Saya menyambut baik
terbitnya buku hikayat lembu mangkurat ini mengingat mamfaatnya yang cukup
besar.
Saya mengharapkan agar
buku ini dapat dijadikan bahan bacaan bagi murid/pelajar
Oleh karenanya tentu
buku ini akan senang dimiliki oleh setiap perpustakaan sekolah di kalimantan
selatan khususnya.
Wajarlarlah apabila
Hikayat Lembu mangkurat ini
diketahui/dikenal oleh semua siswa karena isinya yang baik yang menjadi
suri tauladan bagi kita semua.
Kepada saudara Gusti
Mayur S.H. saya pada kesempatan ini mengucapakan selamat dan rasa bahagia atas
dapat terbitnya buku Hikayat Lembu Mangkurat ini.
Semoga buku Hikayat
Lembu Mangkurat ini akan mengugugah perasaan serta dapat mendorong para
generasi sekarang/khususnya generasi muda untuk mempusakai jiwa serta
nilai-nilai Lembu Mangkurat untuk mengisi dan membangun bangsa indonesia yang
tercinta ini.
Dengan buku ini jiwa
Lembu Mangkurat akan terus hidup sepanjang zaman dan sepanjang sejarah.
BANJARMASIN,
TGL 28 OKTOBER 1974
KEPALA
PERWAKILAN DEPARTEMEN P DAN K
KALIMANTAN
SELATAN
ASNAWI
PENDAHULUAN
Hikayat Lembu Mangkurat (Lambung
Mangkurat) Melukiskan terutama hikayat raja-raja Banjar dan Kotawaringin.
Beberpa pujangga tua mencoba mengubah
Hikayat Lembu Mangkurat ini dengan sebaik-baiknya menurut ukuran pendapat dan
pengetahuan masing-masing. Kebayakan gubahan ini berupa syair yang indah dengan
dibumbuhi fantasi yang menarik.
Isi buku ini adalah ringkasan dari sebuah gubahan pujangga tua, yang
kemudian dari dissestasi A.a. Cense
untuk memperoleh gelar Doktor.
Kiranya buku ini dapatlah juga
memberikan bantuan bahan dan dorongan kepada penaruh minat sejarah untuk
mengadakan penyelidikan lebih lanjut.
Gt.
Mayur S.H.
Penerbit CV. RAVI Banjarmasin
Cetakan ke 2
Di tulis ulang: ARIF RAKHMAN HAKIM
November 2013
BAGIAN
I
ZAMAN LEMBU MANGKURAT
1. EMPU
JATMIKA
a. Mencari
negara baru
b. Armada
ke negeri keling
c. Perjalanan
ke tionkok
d. Patung
gangsa
e. Susunan
negara dan amanat raja
2. Raja
puteri
a. Putri
junjung buih
b. Bambang
sukmaraga dan bambang patmaraga
c. Luhuk
badangsanak telaga Raha, sungai darah
3. Raja
putera
a. Ke
Majapahit
b. Si
Rarasanti , si macan
c. Pangeran
Suryanata dan gong si Rabut Paradah
d. Penobatan
e. Raden
Suryaganggawangsa dan Raden Suryawangsa
f. Kembali atsal
4. Raja
Suryaganggawangsa
a. Anak
dayang diparaja
b. Perkawinan
lembu mangkurat
c. Puteri
kuripan dan larangan memakan daging kerbau putih
d. Jaringau dan perawas
5. Raden
Carang Lalean
a. Pulang
keatsal
b. Puteri
kalungsu
c. Terkawini
ibu
d. Raden
Sari Kaburangan
e. Puteri
kalungsu bersama 500 pengirim gaib
f. Lembu
Mangkurat meninggal
BAGIAN I
ZAMAN
LEMBU MANGKURAT
D I
NE G E R I Keling Hiduplah seorang
pedadang yang kaya raya bernama saudagar Mangkubumi, Istri saudagar ini bernama
Sitira. Anaknya seorang laki-laki bernama Empu jatmika kawin dengan Sira
Manguntur, dan berputera dua orang yang bernama Empu Mandastana dan Lembu
Mangkurat.
Ketika
kedua cucunya ini masih muda belia, saudagar Mangkubumi jatuh menderita sakit
keras. Segala keluarga dan hamba sahaya dititahkan berjaga-jaga menjaga sisakit
empat puluh hari empat puluh malah lamanya. Setelah ia merasa bahwa sa’at
meninggalkan dunia yang fana ini telah hampir, maka dititahkannya supaya anak
dan cucu-cucunya datang menghadap. Kepada anaknya ia beramanat supaya menjaga sekalian keluarga dengan
sebaik-baiknya. Jangan kikir, bersikap adil terhadap tiap-tiap orang, dan
hendaklah meneriama dan mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan orang
yang datang menghadap.
Selain
daripada itu ia memerintahkan kelak sesudah ia meninggal dunia, supaya anakenda
pergi keluar negeri, karena negeri keling terdapat orang iri dengki. Ia harus
mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk menyatakan itu
hendaklah ia mengali tanah pulau yang didatanginya diwaktu kira-kira tengah
malam dan mengambinya sekepal. Jika telah berhasil menjumpai daerah yang
tanahnya memenuhi syarat-syarat itu, hendaknya ia tinggal di sana.
Ditempat
itulah ia mendapatkan rahmat bahagia raya. Tanam-tanaman akan hidup subur
makmur, bebas dari pengaruh yang merugikan, sedang saudagar-saudagar akan
datang berdangang, negara terhindar dari ganguan musuh. Jkia tanah itu harum
tapi dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran itu hanya sekedarnya, baik dan
buruknya adalah didalam keadaan seimbang. Jika tanah itu berbau busuk lagi
dingin, maka niscaya negara itu senantiasa ditimpa marabahaya dan menderta
kesukaran yang tidak putus-putusnya. Setelah ia bepesan demikian, maka saudagar
Mangkubumi itupun menutup mata buat selama-lamanya. Sekalian keluarga berduka citadan
meratapi dengan tagis kepedihan. Untuk mengikuti kebiasaan pada zaman dahulu,
maka upacara penyelenggaraan mayat berlaku dengan disetai dengan pembagian
beribu-ribu lembar pakaian dan berpuluh-puluh ribu real uang yang ditaburkan.
Mengingat
pesan ayahnya, Empu Jatmika merasa setuju sekali meninggalkan negerinya, ia
menitahkan datang menghadap Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa
beserta kepala jawatan perdangan Wiramartas seorang ahli bahasa, Wiramartas
faham bahasa arab, persi, melayu, belanda, tionghoa dan lain-lain dan ia
menjadi kepala dari segala nahkoda-nahkoda.
Empu
Jatmika menerangkan kepada meraka keputusan yang telah diambilnya dan
memerintahkan supaya semua segera disiapkan agar dapat bertilak dengan segera.
Tidak beberapa lama kemudian bertolaklah dari banua keling, armada yang
berlayar dengan dipelopori oleh kapal si Prabayaksa. Didalam kapal pelopor ini
menumpang Empu Jatmika. Setelah beberapa lama berlayar, armada berlabuh
disebuah pulau. Ternyata pulau yang pertaman ini tidaklah bertanah panas dan
berbau harum. Dengan sedikit agak kecewa perlayaran diteruskan. Armada berlabuh
pula di laut Hujung Tanah. Sementara berlabuh disana, Empu Jatmika bermimpi
serasa berjumpa dengan almarhum ayahhanda, yang berpesan supaya mendarat di
Pulau Hujung Tanah, karena disinilah ia akan menjumpai apa yang dicari.
Pagi-pagi
benar, pergilah Empu Jatmika dengan empat orang pengiringnya menuju ke pulau
hujung tanah. Ia mengagali tanah disana, dan benarlah tanah disini hawanya
panas laksana bara, harum sebagai daun pudak.
Dengan
batu-batu yang dibawa dari keling, di mulailah membangun sebuah candi. Kemudian
didirikan pula sebuah istana lengkap
dengan balairung, pengadapan dan perbendaharaan.
Didalam
suatu upaca dibalairung, Empu Jatmika memberikan nama kepada negara baru itu :
NEGARADIPA ia sendiri menjadi raja didaerah ini dengan bergelar Mahaja di
Candi.
Pada
ketika itu terdapat kepercayaan kepada pribahasa :
“Siapa
yang tidak berdarah bangsawan, tetapi oleh karena kekayaan dapat menjadi, ia
akan ditimpa bencana. Demikian pula bencana itu akan menimpa mereka yang
mengakui orang itu sebagai raja” Oleh karena itu Empu Jatmika
menitahkan membikin patung dari kayu cendana. Patung ini dijadikan seolah-olah
raja dan kepadanyalah seolah-olah kekuasan yang tertinggi.
Ahli-ahli
tatah mengukir dua buah patung yang berwujud seorang laki-laki dan seorang
perumpuan. Pantung-patung itu dihiasi dengan seindah-indahnya dan diungkup
dengan dupa dan wangi-wangian dan diletakan di dalam sebuah candi. Tiap-tiap hari
jum’at raja datang mengunjungi patung-patung itu.
Pada
suatu ketika menitahkan supaya hulubalang Arya Megatsari dengan membawa tentara
seribuorang menaklukan daerah batang Tabalong, batang Balangan dan batang
Pintap. Dengan kekuatan tentara yang sama berangkat pula Tumenggung Tatahjiwa
ke daerah batang Alai,batang Hamandit dan labuan emas.
Kedua
pengiriman tentara ini berhasil dan segala kepala-kepala rakyat daerah yang
ditundukkan itu dibawa menghadap kehadapan raja. Mereka diwajibkan tunduk
kepada perintah kedua hulubalang dan tiap-tiap musim harus mengatar upeti yang
ditetapkan. Setelah dijamu secara mewah, segala kepala-kepala rakyat itu
diperkenankan kembali ke daerah masing-masing dengan perjanjian selanjutnya
tidak lagi akan bermusuhan antara sesamanya. Sesudah kepala-kepala daerah itu
kembali kedaerah masing-masing maka raja mencurahkan perhatiannya kepada
susunan istana.
Segala
peraturan, susunan pegawai, upacara istana disesuaikan atau mecontoh tata-krama
Majapahit. Apabila segala peraturan telah tersusun dengan baik, Empu Jatmika
mengirimkan armada kenegeri keling dibawah pimpinan nahkoda Lampung guna menjemput keluarga dan
harta benda beharga yang masih ketingalan. Di dalam perjalanan pulang armada
ini dilanggar taupan. Kapal-kapal terserak kesana-kesini, sebagian hanyut ke
laut kidul sehinga banyak anak buahnya yang tewas binasa. Sisa dari kapal-kapal
itu datang di Negaradipa dengan selamat. Nahkoda-nahkoda mendapat hadiah yang
sangat banyak, di antaara sebuah pedang yang indah permai.
Dalam
suatu upacara yang dilakukan pada tiap-tiap hari sabtu, raja memberi tahukan
kepada Arya Magatsari dan Tumenggung Tatahjiwa keinginnya hendak menganti
patung-patung kayu yang lambat laun menjadi lapuk dengan patung dari pada
gangsa.
Ketika
raja mengetahui bahwa bangsa Tionghoa adalah bangsa yang pandai dan ahli
didalam hal pembikinan patung gangsa, maka ia memutuskan mengutus Wiramartas
menghadap raja tiongkok dengan membawa banyak membawa bingkisan dan kiriman
yang beharga diantaranya terdapat sepuluh ekor orang hutan.
Dengan
tidak mendapat kesukaan, utusan tiba di Tionghoa. Didalam sidang resmi
Wiramartas mempersembahkan surar raja Negaradipa. Seorang pendita Tiongkok
membacakan surat tersebut. Raja Tionkok menitahkan supaya memenuhi permintaan
raja Negaradipa dan kemudian masuk kedalam istana.
Setelah
musim yang baik tiba, berlayar pulanglah Wiramartas sedang empat puluh orang
ahli patung dari raja Tiongkok ikut serta. Selain dari pada itu oleh raja
Tiongkok dikirimkan pula beraneka warna bingikisan, seperti tikar permadani,
kain sutera, barang pecah-belah dan sebagainya. Wiramartas sendiri mendapat
hadiah pakaian yang indah-indah dan sebilah pedang Jepang. Setelah Wiramartas
sampai di pangkalan Negaradipa, maka utusan ini disambut dengan mengadakan
pelbagai perayaan. Di dalam sidang Wiramartas menyampaikan laporan dari
perjalannya dan membacakan surat raja Tiongkok. Wiramartas dengan
pengiring-pengiringnya diberi hadiah yang sangat banyak, ya’ni sebagai
penghargaan atas jasanya yang telah menjalankan kewajiban dengan baik.
Kepada
wargasari, bendahara raja deserahkan segala bingisan raja Tiongkok, sedang
kepada Arya Megasari diperintahkan untuk menjaga ahli-ahli seni rupa bangsa
Tionghoa itu.
Di
dalam waktu yang singkat ahli-ahli bangsa Tionhoa itu selesai dengan
kewajibannya. Dua patung gangsa yang merupakan seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang besarnya sebasar anak kecil dipersembahkan kepada raja dan raja
pembuatan mengagumi pembuatan ahli-ahli itu Raja menitahkan melempar
patung-patung kayu ke laut dan menempatkan patung gangsa sebagai pengantinya di
dalam candi. Empat puluh orang
pendita di titahkan menjaga patung-patung
itu dan di dalam waktu tertentu haruslah mereka membersihi mengosoknya dengan
pasir halus. Agar patung itu jangan berkarat, kemudian di sapu dengan narawastu
dan di asap dengan kemenyan. Tiap-tiap malam sabtu, haruslah pendita-pendita
itu menaburi patung-patung itu dengan bunga melati, cempaka dan bunga pudak.
Di
zaman itu Negaradipa termasyhur kemana-mana kesegala negara. Tata negara dan
bentuk pemerintahan mengikuti contoh dari kerajaan Majapahit. Pakaian dan
perhiasan pun meniru pula pakian dari kebiasaan di Jawa. Malah raja tidak lagi
menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling atau Melayu, karena negaradipa
adalah negara yang berdiri sendiri dan haruslah mengambil bentuk yang selaras
dan pantas.
Bukankah
ada peribahasa orang tua yang mengatakan jika rakyat dari suatu negara meniru
pakaian dari negara lain, maka pastilah negara itu akan di langgar bencana,
penyakit akan bercabul, peralihan musim lenyap, pemberontakan akan berkobar dan
raja tidak akan di taati lagi.
Selanjutnya
raja memperingatkan rakyatnya, jangan menanam lada untuk perdangangan sebagai
di Palembang dan Jambi. Sebab di tempat tumbuhnya lada pasti kekurangan bahan
makanan. Negara kan menderta kesukaran dan pemerintah akan runtuh. Jika orang
ingin juga menanam lada, hendaknya jangan lebih dari empat atau lima rumpun,
ya’ni sekedar cukup untuk keperluan sendiri.
Beberapa
lama kemudian Empu Jatmika jatuh sakit keras. Banyak tabib yang didatangkan
tetapi tiada berhasil. Siang dan malam banyak rakyat yang berjaga-jaga di
sekitar istana. Akhirnya raja menitahkan supaya datang menghadap kedua puteranya dan kedua Hulubalang Arya
Megatsari Tumenggung Tatahjiwa. Dengan tegas memperingatkan supaya kedua
puteranya janganlah meneriama kehormatan menjadi raja sebab bencana dan
malapetaka senantiasa akan menimpa tiap-tiap orang yang menjadi raja, jika ia
tidak turunan bangsawan. Ia sendiri meletakan kekuasaan tertinggi kepada
patung-patung, karena khawatir ditimpa bahaya. Apabila ia mangkat, haruslah
patung-patung itu di lemparkan di laut, sedang kepada putera-puteranya
dititahkan mencari raja manusia dengan
jalan Empu Madastana haruslah bertapa di gunung didalam goa atau di
pohon-pohon besar sedang Lembu Mangkurat haruslah bertapa dipusar air yang
dalam. Sesudah memberi peringatan ini, maka rajapun mangkatlah. Pemakaman
jenazah baginda di lakukan dengan upacara kebesaran. Kemudian oleh
pendita-pendita dilakukan upacara membuang patung-patung ke laut.
Pada
suatu malam Lembu Mangkurat didalam mimpi mendengar suara almarhum ayahandanya
yang menganjurkan supayamembikin rakit dari empat belas batang pohon saba
dengan berlangit-langit kain putih. Di empat penjuru digantung mayang mengurai.
Lebu Mangkurat haruslah pula berpakaian dan berdester kain putih. Pada tengah
malam sambil membakar dupa haruslah ia berhayut ke hilir dengan tidak menaruh
gentar bila seandainya bertemu dengan buaya, ikan dan ular besar. Jika ia
dengan rakitnya sampai di Lubuk Bergaja, maka rakit akan berputar di pusar air.
Kalau pusar air ini menjadi tenang kembali, ia akan menampak sebuah bauih raksasa, dan dari dalam buih ini
akan terdengar suara perempuan yang berbicara kepadanya. Perempuan inilah yang
akan menjadi raja puteri negara.
Pada
ke esokan harinya maka lembu mangkurat pun berbuatlah seperti petunjuk yang di
dapat dalam mimpi. Dengan rakit yang memenuhi syarat-syarat seperti yang di
kehendaki , ia berhanyut ke hilir dengan tidak menaruh sedikit juapun walau
sepanjang jalan bertemu dengan buaya, ikan dan ular-ular besar. Akhirnya ia
menapak sebuah buih yang bercahaya-cahaya timbula di permukan air. Suatu suara
yang lemah lembut dan merdu bertanya : “ Lembu
Mangkurat, apakah yang engkau perbuat disini? “. Lembu Mangkurat pun
menjawab : “Hamba mencari mencari seorang
raja untuk memerintah di Negaradipa”. Suara itu kedengan lagi : “ Lembu Mangkurat aku adalah raja puteri ,
puteri junjung buih yang engkau cari
“. Lembu Mangkurat berjanji mempersembahkan candi sebagai istana, tetapi puteri
junjung buih menolak tinggal di istana, karena disitu pernah di letakan
patung-patung yang di berhalakan. Ia meminta supaya membangun sebuah mahligai .
Sebagai tiangnya harus di ambil empat pohon batung batulis dari gunung batu
piring. Mahligai itu harus selesai di kerjakan di dalam satu hari. Selanjutnya
empat puluh orang gadis haruslah pula menyelesaikan menenum selembar kain
kuning yang panjangnya tujuh elo, lebar dua elo, yang akan di gunakan oleh tuan
puteri sebagai selendang jika ia pergi ke mahligai.
Selah
mengetahui hal ini semuanya, Lembu Mangkurat pun segera memberitahuakn
peristiwa ini kepada paduka kakanda Empu Madastana. Rakyat di larang melayari
sungai tersebut sebelum tuan puteri naik ke mahligai. Empat orang patih
mendapat perintah untuk mengambil empat buah pohon batung batus. Dan benarlah
pada hari itu juga selesailah laksana diciptakan mahligai yang di minta, sedang
ke empat puluh orang gadis dapat memenuhi kewajiban yang dipikul kepada mereka
mewujudkan selembar kain langundi.
Dengan
upacara kebesaran berangkatlah Lembu Mangkurat menjemput teuan puteri dengan di
iringi oleh empat puluh orang para gadis yang berpakaian kuning. Dengan hikmat
kain kuning pun di persembahkan kepada Puteri Junjung Buih.
Bercahaya-cahaya,
gilang-gemilang keluarlah tuan puteri dari buih, berpakain tapih dan
berselendang kain kuning yang di bikin oleh para gadis. Dengan di iringi oleh
rakyat, berangkatlah tuan puteri menuju mahligai. Hanyalah empat puluh orang
gadis pengiring yang di perkenankan berdekatan di sekitar tuan puteri.
Demikianlah maka puteri junjung buih pun menjadi raja di Negaradipa. Di dalam
pelaksanaannya pemerintahan diserahkan sama sekali kepada kebijaksaan Lembu
Mangkurat, walau ia saudara muda dari Empu Madastana. Dan ia pulalah pada
umumnya yang memberikan keputusan-keputusan yang penting-penting di dalam soal
yang bertalian dengan negara.
Pada
suatu hari Lembu Mangkurat berdatang sembah kepada raja puteri, dengan
membanyangkan apakah raja puteri tidak memilih seorang suami. Dengan tegas raja
puteri menjawab bahwa ia akan kawin dengan seorang laki-laki yang di peroleh dengan ciptaan karena bertapa.Jawaban
ini menerbitkan kesukaran yang tidak mudah di pecahkan dan dengan agak
kemalu-maluan Lembu Mangkurat bermohon pulang.
Adapun
Empu Madastana berputera dua orang yang kecantikannya laksana pinang di belah
dua, seorang bergelar Bangbang Sukmaraga dan seorang lagi bergelar Bangbang
patmaraga. Tiap-tiap hari kedua pemuda yang masih kanak-kanak, muda belia ini
bermain-main di sekitar di bawah mahligai raja puteri. Banyak para gadis-gadis
yang jatuh cinta asmara kepada kedua pemuda ini. Merka menjalin pantun dan
mengubah seloka untuk menyatakan kerinduannya.
Ketika
Raja puteri menampak kedua pemuda itu, maka maklumlah raja puteri bahwa meraka
putera-putera Empu Madastana. Sekedar untuk memberi hadiah atas tanda
kebangsawanan hatinya. Maka raja puteri menjatuhkan untuk masing-masing sekapur
sirih dan sekaki bunga nagasari, bunga yang pada ketika itu belum tumbuh di
negaradipa. Tapi malang, tepat ketika itu Lembu Mangkurat liwat di sana. Dengan
gusar dan cemburu di tanyai apakah yang meraka perbuat di sekitar mahligai itu.
Selanjutnya ia melarang kepada Bangbang Sukmaraga dan Bangbang patmaraga datang
di dekat kediaman raja puteri.
Lembu
Mangkurat berpendapat tentu raja puteri ingin hendak bersuamikan salah seorang
dari keponakannya sehingga jika terjadi yang demikan maka ia sebagai paman
haruslah menyembah anak keponakan sendiri. Akhirnya ia mengambil keputusan akan
menyingkirkan kedua pemuda itu.
Dengan
alasan bersama-sama akan mencari ikan, ia mengundang Bangbang Sukmaraga dan
Bangbang patmaraga ke hulu sungai, walau
mereka menduga ada udang di balik batu,
ya’ni pamannya pasti ada berniat jahat
terhadap mereka, namun mereka memutuskan juga untuk memenuhi undangan pamannya.
Dengan cara yang sangat mengiba hati, ia bermohon dan menyatakan selamat berpisah
kepada ayah dan bundanya.
Bangbang
sukmaraga menanam sepohon bunga melati disebelah kanan pintu rumahnya, sedang
Bangbang patmaraga menanam sephon bunga merah di samping sebelah kiri, seraya
berkata “ Jika daun-daun pohon ini
rontok, maka itulah tandanya kami mati di bunuh oleh paman Lembu Mangkurat ”
. Dengan berbaju putih mereka pergi ke perahu, sedang Lembu Mangkurat telah
datang terlebih dahulu menunggu. Mereka berdayung bersama-sama ke hulu sampai
di Batang Tabalong, di sini mereka di bunuh.
Lembu
Mangkurat keheran-heranan setelah mengetahui bahwa mayat-mayat Bangbang
Sukmaraga dan Bangbang patmaraga hilang lenyap seketika itu juga. Tempat
pembunuhan ini sampai sekarang masih bernama Lubuk Badangsanak.
Sedang
Empu Mandastana dengan istrinya di dalam keadaan cemas dan khawatir, tiba-tiba
datanglah sejoli burung merak terbang melayang. Yang jantan hinggap di asuhan
Empu Mandastana , sedang betina hinggap di asuhan sang isteri. Maklum akan
tanda-tanda firasat ini, berdebar-debar hati Empu Mandastana suami isteri, dan
seras-rasa tahulah ia suadah bahwa putera-putera telah mati terbunuh. Dengan
serempak mereka berdiri menengok pohon-pohon melati yang di tanam oleh
putera-puteranya. Dengan air mata belinang-linang, mereka menyasikan daun-daun
pohon itu helai demi sehelai rontok bertaburan. Segera mereka mengambil
keputusan untuk mengikuti nasib putera-puteranya. Tiba di candi maka Empu
Mandastan menikam dirinya dengan keris Parang Sari, keris bikin Majapahit sedang
isterinya menikam diri dengan sebuah keris keling yang bernama Lading Malela.
Beberapa
hari kemudian, barulah Lembu Mangkurat mengetahui kelenyapan kakandanya. Ia
menanyakan kepada segala pengiring dimanakah mereka paling akhir menampaknya.
Tetapi walaupun sudah di selidiki dengan seksama, seorang pun tidak menjumpai
Empu Madastan dan isterinya. Sambil menduga apa mungkin terjadi, Lembu
Mangkurat pergi menuju candi.
Disini
ia menjumpai ke dua badan yang telah menjadi mayat terhampar, membujur laksana tidur
, sedangkan keris terletak di samping-masing. Di sekelingnya tampak banyak
burung yang jatuh mati bergelimpangan karena melangkahi kedua mayat itu. Lembu
Mangkurat memerintahkan
pengiring-pengiringnya melemparkan kedalam laut kedua mayat dan tanah tempat
mayat itu berbaring. Di tempat itu kemudian terdapatlah sebuah telaga yang
sampai sekarang dinamai Telaga Raha. Konon, jika ada seseorang yang dianggap
bersalah dan di bunuh, maka kelihatan air telaga raha selama dua puluh empat
jam bewarna kemerah-merahan. Demikian pula halnya dengan sungai berhulu dari
gunung batu piring, gunung tempat mengambil batung batulis guna tiang mahligai
puteri jijing buih. Samapai sekarang sungai ini masih terkenal dengan nama
sunagai darah.
Pada
suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahhanda menceritakan
bahwa raja majapahit dengan bertapa mendapat seorang putera yang layak menjadi
suami raja puteri junjung buih. Menurut certa itu, raja majapahit lama sekali ingin
mempunyai putera. Di dalam mimpi, Baginda mendapat nasehat dari seorang tua
supaya bertapa di gunung di daerah majapahit dan kelak bidadari dari
matahariakan memberikan baginda seorang putera yang terbungkus dengan selaput
tipis, sehingga ia di timpa penyakit kusta. Jika baginda memelihara anak ini
dengan sebaik-baiknya, maka kekuasaan dan kemasyurannya akan bertambah meluas.
Tetapi sekali-kali janganlah selaput yang membungkus anak itu di buang, karena
apabila di lakukan demikian, maka kutuk dan bencana juga yang akan menimpa
baginda. Lain dari pada itusebagai tanda rahnat kebahagiaan akan terlahir lagi
enam orang anak. Pada ke esokan harinya raja majapahit berangkatlah bertapa ke
gunung.
Sesudah
bertapa empat hari lamanya, baginda pun benar-benar mendapat karunia seorang
putera yang bergelar Raden putera. Baginda kembali ke istana. Sesedah berapa
lamanya benarlah lahir enama orang anak , tiga orang putera dan tiga orang
puteri. Kekuasan raja majapahit sehari-hari selalu bertambah-tambah dan banyak
raja-raja yang tunduk kepadanya ya’ni dari seluruh jawa, bantam, jambi,
palembang, makassar, pahang, petani bali dan sampai pula ke minangkabau.
Demikianlah bunyi cerita yang di sampaikan oleh almarhum ayahhanda di dalam
mimpi Lembu Mangkurat. Yakin bahwa mimpinya berdasarkan atas kemungkinan kebenaran,
Lembu Mangkurat pun menitahkan dengan segera menyiapkan kapal si Prabayaksa dan
kapal-kapal lainnya.
Selain
daripada Wiramartas, yang menjabat menteri perdangan dan pelayaran, ikut pula
serta empat orang patih, ia adalah patih Pasi, patih Baras, patih Luhu. Pun
sepuluh orang nahkoda dan puspawana,, menteri pembelaan, wangsanalo, menteri
saragen turut ikut be.serta . Rombongan ini bertolak dari Negaradipa dengan
langsung di bawah pimpinan Lembu Mangkurat sendiri.
Tidak
beberapa lama kemudian sampailah mereka di pangkalan Majapahit. Apabila menteri
bandar (pangkalan) menerima kabar tersebut, maka iapun pergi ke pangkalan untuk
menyaksikan sendiri orang asing manakah yang datang itu. Bertapa terkujut
ketika melihat begitu banyak-kapal yang berlabuh, sehingga terkeluar dari
mulutnya : “ Selama orang-orang asing datang asing datang kesini, belum pernah
seperti ini “ . Utusan yang dikirimnya segera kembali dengan membawa kabar,
bahwa orang-orang asing itu adalah dari Negaradipa dibawah pimpinan Lembu
Mangkurat dengan maksud hendak menjumpai raja Majapahit.
Dengan
segera menteri bandar pergi ke majapahit dan menyampaikan laporan kepada Gajah
Mada. Dan kemudian Gajah Mada menyampaikan peristiwa ini kepada raja.
Berita
kedatangan Lembu Mangkurat ini Menimbulkan Khawatiran raja majapahit, raja
tidak menaruh gentar kepada raja asing manapun. Ia mempersilahkan Lembu
Mangkurat untuk menghadap. Dengan pakain kebesaran yang gemerlapan berangkat
lembu mangkurat mengendarai kuda putih diapit oleh tentara yang bersenjata
pedang, perisai, lembing, dan sebagainya. Patih-patih, menteri-menteri, dan
nahkoda-nakoda berbaris pula mengikuti dengan pakain kebesaran yang
indah-indah. Paling belakang terdapat barisan dari lama ratus orang tentara
yang berjalan kaki dan lima ratus orang yang mengendarai kuda. Arak-arakan
seindah itu belum pernah terlihat di Majapahit.
Sesudah
tiga hari, barisan pun sampailah didalam
kota. Di Sitilur telah menunggu
berkumpul Gajah Mada, Arya Dilah, Arya jamba, Rangga Lawe, Arya Sinom, Kuda
Pikatan, Hajaran Panolih dan Dipati Lompur. Sejurus kemudian maka terdengarlah
bunyi dentuman yang memberikan tanda bahwa raja akan keluar dari istana. Dengan
di iringi bunyi gemelan, raja berjalan keluar. Di panggungan terdengar gamelan
membunyikan lagu lokanata, sedang di paseban terdengar di bunyikan lagu
galaganjur. Beberapa rombongan, masing-masing terdiri dari empat puluh orang,
datang berbaris dengan memakai yang sama dan indah. Kemudian raja duduk di
Sitiluhur, sedang sebagai penjaga di tempatkan berkeliling empat ratus orang
Singanegara (polisi). Di hadapan raja duduk pula dua ratus orang wanita dengan
memakai sarung yang bewarna ke emas-emasan. Mereka di wajibakan membawa tikar
dan menjaga tikar, kendi emas, kendaga, alat merokok dan sebagainya.
Lembu
Mangkurat di perilahkan masuk di Rancak suci. Dengan tidak mengaturkan sembah
ia duduk, sedang ke empat patih duduk di belakang. Raja da pegawai istana agak
terkejut melihat sikap ini.
Kemudian
Gajah Mada menanyakan maksud kedatangannya, “ Kami datang untuk menghadap raja
Majapahit “ , jawab Lembu Mangkurat. Dengan agak malu dan suara yang agak
gemetar, raja bersabda : “ Paman Lembu Mangkurat, apa gerangan yang di inginkan
paman dari kami? “ , sekaranglah Lembu Mangkurat menyampaikan permintaannya, ya’ni
seboleh-boleh di perkenankan membawa paduka anakda ke Negaradipa untuk di
kawinkan dengan raja puteri. Sambil menyampaikan permintaan ini, ia
menyampaikan bingkisan-bikisan yang beharga. Raja majapahit menerangkan, bahwa
bahwa baginda tidak mempunyai anak lagi, karena tiga orang putera baginda telah
kawin dan berada di Palembang, Bali, dan Surabaya, sedang tiga orang puteri
baginda lagi telah kawin dan sekarang di Manangkabau, Bantam dan Makassar.
Disini
Lembu Mangkurat menerangkan, bahwa ia hanya menghendaki putera raja yang di
perolah dari bertapa. Akhirnya raja berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh
hari. Baginda memperingatkan kepada Lembu mangkurat jangan menyesal karena anak itu tidaklah sempurna tubuhnya. Susudah Baginda memerintahkan kepada Gajah Mada supaya menjamu Lembu Mangkurat beserta pengiring, maka masuklah Raja kedalam istana dengan diiringi bunyi gamelan dan runtunan dentum senapan.
Tujuh hari tujuh malam terus menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti rakit, topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang orang, wayang gedok, dan sebagainya. Pun diadakan pula pertandingan keprajuritan (sasabton).
Setelah sampai ketikanya, benarlah raja dengan iklas menyerahkan putera baginda Raden putera. Banyak hadiah yang di bawa di antaranya dua payung besar, dua bedil cocorong, keris jaka Piturun, gamelan Si rarasanti, babende Si Macan dan pepatuk Si Mundarang.
Raden Putera diusung didalam usungan dibawa menuju kepelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan di dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Ditempat ini angin tiba-tiba berhenti bertiup, teduh dan laut menjadi tenang Adapun juga yang di perbuat, kapal yang di tumpangi oleh Raden Putera tidak juga bergerak. Semua berputus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putera, bahwa beberapa naga putih, rakyat dari puteri Junjung Buih melekat dan menahan kapal. Raden Putera menerangkan bahwa ia bersiap terjun ke dalam laut untuk mengusirnya. Sekarang dengan ikhlas Lembu Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putera, dan Lembu Mangkurat yang menghadap Raja Majapahit tidak mewujudkan kegentarannya, kini menganturkan sembah kepada Raden Putera.
Raden Putera meminta supaya menunggu tiga hari kepadanya. Jika ia sesudah tiga hari belum timbul juga, maka haruslah dilakukan puja bantan, karena dengan berbuat demikian tentu ia akan segera timbul kembali.
Dengan berpakain kuning, Raden Putera terjun kedalam laut dan ketika itu juga kapal Prabayaksa dapat bergerak yang menerbitkan perasaan suka cita kepada sekalian anak buah kapal. Dengan hati yang berdebar-debar ditunggu sampai tiga hari lamanya. Tetapi setelah tiga hari Raden Putera tidak timbul juga, maka Wiramartas pun diutus lebih dulu untuk mengambil kerbau, kambing dan ayam ke Negaradipa. Juga ia mewajibkan membawa menteri-menteri untuk menyosong dan menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit.
Setelah Wiramartas datang di Negaradipa membawa berita, maka arya Megatsari dan tumenggung Tatahjiwa pun memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran. Sesudah memuja dan membantan tujuh hari tujuh malam lamanya, maka tampaklah dengan tiba-tiba raden Putera dipermukaan air dengan seri yang bercahaya-cahaya memakai tapaih sutera kuning yang indah., menajubkan, sedang raden putera berijak diatas sebuah gong besar. setelah Raden Putera naik kapal, Lembu Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah dan oleh karena itu gong agung itu sampai sekarang tetap terkenal dengan nama Si Rambut Paradah.
Raden Putera selanjutnya bergelar Suryanata (Surya=matahari, Nata=raja).
Temapat berhenti dan memuja di Pendamaran ini sampai sekarang ini dinamai Perbantanan.
Pelayaran di teruskan menuju ke Negaradipa, Suryanata tinggal di istana yang di diami oleh Empu jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan Pitap, Baijau Besar, Biajau kecil, Sebagau, Sampit, dan Pembuang, datangkah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Suryanata.
Empat puluh hari empat puluh malam diadakan peryaan dan pertunjukan wayang,topeng, rakit, joget, beksa berganti-ganti. pada tengah malam pemuda-pemuda, putera-putera pembesar kerajaan mendirikan padudusan ( tempat upacara mandi), sedang orang yang disebut "kandang haji" diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, panggungan, Sitiluhur dan paseban di hiasi dengan seindah-indahnya. Dari segala pelosok mengalirlah penonton yang hendak menyaksikan upacara itu sambil melihat bendera-bendera, panji-panji, lembing, senapan dan meriam.
Pada hari upacara pendudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawainan, demikian pula halnya dengan puteri junjung buih. Puteri jinjing Buih berpakaian dengan cuma boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita pembesar istana, sebagai tapih dipakaian kain yang dipakai ketika timbul dari air. Puteri junjung buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis-gadis jelita yang sama memakai baju sutera kuning , sedang pengiring Suryanata terdiri dari anak-anak menteri-menteri yang di wajibkan antara lain-lain membawa alat merokok, alat menginang, tikar dan sekitarnya.
Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki, di bungkus dengan kain sutera kuning.
Setelah Suryanata selesai berpakaian , iapun melangkar keluar, tetapi pada ketika itu dengan tiba-tiba terdengarlah suara: "Oh Raden Suryanata, jangan turun sebelum memakai mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari pada raja-raja dibawah angin". Selanjutnya suara gaib ajab itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian yaitu dapat menjadi lebih berat atau lebih ringan, menjdai lebih besar atau kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, ia dapat menjadi raja. Dengan sangat hikmad Raden Suryanta mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibikin oleh para gadis disambutlah mahkota itu dan diletakkan di kepala.
Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban.
Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.
Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.
Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban.
Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.
Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.
Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban.
Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.
Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.
Tujuh hari tujuh malam terus menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti rakit, topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang orang, wayang gedok, dan sebagainya. Pun diadakan pula pertandingan keprajuritan (sasabton).
Setelah sampai ketikanya, benarlah raja dengan iklas menyerahkan putera baginda Raden putera. Banyak hadiah yang di bawa di antaranya dua payung besar, dua bedil cocorong, keris jaka Piturun, gamelan Si rarasanti, babende Si Macan dan pepatuk Si Mundarang.
Raden Putera diusung didalam usungan dibawa menuju kepelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan di dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Ditempat ini angin tiba-tiba berhenti bertiup, teduh dan laut menjadi tenang Adapun juga yang di perbuat, kapal yang di tumpangi oleh Raden Putera tidak juga bergerak. Semua berputus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putera, bahwa beberapa naga putih, rakyat dari puteri Junjung Buih melekat dan menahan kapal. Raden Putera menerangkan bahwa ia bersiap terjun ke dalam laut untuk mengusirnya. Sekarang dengan ikhlas Lembu Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putera, dan Lembu Mangkurat yang menghadap Raja Majapahit tidak mewujudkan kegentarannya, kini menganturkan sembah kepada Raden Putera.
Raden Putera meminta supaya menunggu tiga hari kepadanya. Jika ia sesudah tiga hari belum timbul juga, maka haruslah dilakukan puja bantan, karena dengan berbuat demikian tentu ia akan segera timbul kembali.
Dengan berpakain kuning, Raden Putera terjun kedalam laut dan ketika itu juga kapal Prabayaksa dapat bergerak yang menerbitkan perasaan suka cita kepada sekalian anak buah kapal. Dengan hati yang berdebar-debar ditunggu sampai tiga hari lamanya. Tetapi setelah tiga hari Raden Putera tidak timbul juga, maka Wiramartas pun diutus lebih dulu untuk mengambil kerbau, kambing dan ayam ke Negaradipa. Juga ia mewajibkan membawa menteri-menteri untuk menyosong dan menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit.
Setelah Wiramartas datang di Negaradipa membawa berita, maka arya Megatsari dan tumenggung Tatahjiwa pun memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran. Sesudah memuja dan membantan tujuh hari tujuh malam lamanya, maka tampaklah dengan tiba-tiba raden Putera dipermukaan air dengan seri yang bercahaya-cahaya memakai tapaih sutera kuning yang indah., menajubkan, sedang raden putera berijak diatas sebuah gong besar. setelah Raden Putera naik kapal, Lembu Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah dan oleh karena itu gong agung itu sampai sekarang tetap terkenal dengan nama Si Rambut Paradah.
Raden Putera selanjutnya bergelar Suryanata (Surya=matahari, Nata=raja).
Temapat berhenti dan memuja di Pendamaran ini sampai sekarang ini dinamai Perbantanan.
Pelayaran di teruskan menuju ke Negaradipa, Suryanata tinggal di istana yang di diami oleh Empu jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan Pitap, Baijau Besar, Biajau kecil, Sebagau, Sampit, dan Pembuang, datangkah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Suryanata.
Empat puluh hari empat puluh malam diadakan peryaan dan pertunjukan wayang,topeng, rakit, joget, beksa berganti-ganti. pada tengah malam pemuda-pemuda, putera-putera pembesar kerajaan mendirikan padudusan ( tempat upacara mandi), sedang orang yang disebut "kandang haji" diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, panggungan, Sitiluhur dan paseban di hiasi dengan seindah-indahnya. Dari segala pelosok mengalirlah penonton yang hendak menyaksikan upacara itu sambil melihat bendera-bendera, panji-panji, lembing, senapan dan meriam.
Pada hari upacara pendudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawainan, demikian pula halnya dengan puteri junjung buih. Puteri jinjing Buih berpakaian dengan cuma boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita pembesar istana, sebagai tapih dipakaian kain yang dipakai ketika timbul dari air. Puteri junjung buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis-gadis jelita yang sama memakai baju sutera kuning , sedang pengiring Suryanata terdiri dari anak-anak menteri-menteri yang di wajibkan antara lain-lain membawa alat merokok, alat menginang, tikar dan sekitarnya.
Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki, di bungkus dengan kain sutera kuning.
Setelah Suryanata selesai berpakaian , iapun melangkar keluar, tetapi pada ketika itu dengan tiba-tiba terdengarlah suara: "Oh Raden Suryanata, jangan turun sebelum memakai mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari pada raja-raja dibawah angin". Selanjutnya suara gaib ajab itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian yaitu dapat menjadi lebih berat atau lebih ringan, menjdai lebih besar atau kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, ia dapat menjadi raja. Dengan sangat hikmad Raden Suryanta mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibikin oleh para gadis disambutlah mahkota itu dan diletakkan di kepala.
Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban.
Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.
Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.
Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban.
Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.
Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.
Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.
Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban.
Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.
Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.
Penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih piring, alat-alat
perhiasan dan lain-lain.
Tiap-tiap hari sabtu, Raja memberikan kesempatan menghadap dengan
bertempat di Sitilihur.
Tidak beberapa lama kemudian, Pemaisuri pun hamil, karena pemaisuri
mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka di kirimlah utusan ke
Majapahit untuk mengambil buah yang di hasratkan itu. Sebagai sekedar bikisan bagi
raja Majapahit dikirim lilin, damar, rotan, tikar, dan dua buah intan yang
besar. Kapal berlayar di bawah pimpinan nahkoda Lampung yang segera sampai di
Majapahit.
Dengan perantaraan Gajah Mada ia menghadap kehadapan raja. Raja sangat
girang setelah mendengar berita yang mengembirakan itu dan segera memerintahkan
menyerahkan buah-buah yang di ingini dengan di taruh di dalam kotak mas.
Nahkoda Lampung segera bermohon pulang dan berlayarkembali dengan
membawa pula hadiah-hadiah berupa beras, gula, minyak nyiur, bawang, asam
kamal, rempah-rempah dan kain-kain batik yang indah.
Datang di Negaradipa, ia di anugerahi pula oleh maharaja suryanata
karena telah berhasil manjalankan perintah yang di titahkan kepadanya.
Setelah cukup bulan dan harinya, pemaisuri melahirkan seorang putera
yang diberi nama Raden suryaganggawangsa. Peristiwa ini di rayakan dengan
membunyikan Si Rambut Paradah, gamelan si Raraswati dan senapan. Adat ini masih
di indahkan pada tiap-tiap lahirnya
anak-anak raja.
Kemudian pemaisuri melahirkan lagi seorang putera yang dinamai
Suryawangsa.
Di zaman itu yang takluk kepada maharaja suryanata adalah Raja-raja
Sukadana, Sanggau dan Sambas, kepala-kepala daerah batang Lawai dan
Kotawaringgin. Pun raja-raja pasir, kutai, Karesikan dan Berau tunduk pula
kepada Negaradipa. Bahkan raja Majapahit yang besar kekuasaannya itu
menghormati kepada Maharaja Suryanata dengan mangkubuminya Lembu Mangkurat
termasyur kegagah-perwiraannya.
Pada suatu hari raja mengadakan pesta untuk segala pungawa-pungawa.
Ramai orang bersuka ria dengan senda gurau dan beraneka permain. Tetapi dengan
sekonyong-konyong raja mengabarkan berita yang mengejutkan mereka sekalian
bahwa raja dan pemaisuri akan kembali ke asal.
Oleh karena itu, kedua putera di percayakan di bawah bimbingan Lembu
Mangkurat. Rakyat di peringatkan adat dan susunan pemerintahan hendaklah
menurut di jawa sebab tidak ada satu daerah dibawah angin yang akan menyaingi
jawa. Jadi janganlah menyimpang
adat Majapahit. Selanjutnya raja
mengulangi peringatan raja terdahulu yaitu
janganlah menanam lada untuk
berdagang karena itu berarti membawa runtuh negara. Pun janganlah sekali
menangkap orang-orang yang celaka oleh kekaraman kapal.
Setelah mengucapkan amat dan pesan itu, dengan tiba-tiba gaiblah raja
dan pemaisuri dari pandangan. Rakyat yang menyaksikan merasa heran dan takjub. Seluruh
negara di dalam kesedihan dan berkabung.
Sebagai ganti mahaja Suryanata, di nobatkan Raden Suryaganggawangsa di padudusan dan
disinilah raja memakai mahkota yang datang dari langit.
Setelah Raden Suryaganggawangsa, di nobatkan mulai memerintah, maka
raja pun memperkenankan pulang segala gadis yang menjadi parakan maharaja
Suryanata. Raja memberi hadiah berupa pakaian dan alat-alat perkakas rumah.
Kepada yang suka kawin, dikawinkan. Sebagai juga maharaja suryanata, pun
maharaja surya ganggawangsa memberikan kesempatan untuk menghadap pada
tiap-tiap sabtu dengan bertempat di Sitiluhur. Lembu Mangkurat diangkat menjadi
mangkubumi, sedangkan Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa adalah sebagai
penganan dan pengiwa (pengapit sebelah kanan dan pengapit sebelah kiri).
Dibawahnya sebagai jaksa terdapat Patih Baras, Patih Pasi, Patih Luhur, dan
Patih Dulu. Kemudian empat orang menteri Bumi ialah Sang Panimba Sagara, Sang Pangruntun Manau, Sang
Pambalah Batang, dan Sang Jampang Sasak, yang mempunyai pula kekuasaan
memerintah atas empat puluh orang menteri sikap. Juga saudara raja Pangeran
Suryawangsa yang mendapat gelar Dipati mempunyai pula seribu orang pengiring,
yang senantiasa siap sedia meneriama perintah Mangkubumi.
Karena raja belum juga mempunyai pemaisuri, maka Lembu Mengkurat
selalu mendorong, tetapi segala dorongan dan anjuran itu tidak berhasil. Tetapi
pada suatu hari raja berkata bahwa ia mendengar suara dari paduka ayahanda yang
telah gaib, menyatakan bahwa raja harus kawin dengan anak dayang Diparaja.
Lembu Mangkurat merasa malu dan khawatir, karena dimanakah harus mencari
pemaisuri yang dimaksud itu. Pun Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa tidak
dapat pula memberikan keputusan. Oleh karena itu maka di cobalah mengirim
utusan kesegala pelosok, tetapi kebanyakan kembali dengan tangan hampa.
Pada suatu hari Singabana (rombongan polisi) yang di dalam perjalanan
memudiki sungai-sungai di Tangga Hulin, di pangkalan Arya Malingkan. Di sini
mereka menjumpai gadis yang sedang mandi dibawah penilikan seorang pengasuhnya.
Ketika ia melihat kedatangan Singabana, terkejut dan berteriak : “ He, dayang Diparaja, lekas! Itu datang Singabana” . Apabila Singabana
mendengar nama ini, maka mereka segera berdayung pulang kembali untuk memberi
kabar kepada Lembu Mangkurat.
Singantaka dan singapati, keduanya menteri dari barisan Singabana
mendapat perintah untuk meminta kepada Arya Malingkan anaknya guna di jadikan
permaisuri raja. Mereka berangkat dengan empat puluh perempuan yang akan
menjadi pengiring menuju ke Tangga Hulin.
Arya Malingkan ternyata tidak sudi menyerahkan anaknya walaupun sudah
di jamin bahwa anaknya akan di jadikan
permaisuri, dan bukanlah untuk di
jadikan parakan, panjogetan atau gundik.
Dia tetap berkeras dan menolak. Utusan terpaksa pulang kembali dengan
tangan kosong.
Apabila Lembu Mangkurat mendengar bahwa permintaannya ditolak, maka ia pun murkaa dan mengambil keputusan
akan pergi sendiri ke Tangga Hulin. Lembu Mangkurat berangkat dengan perahu yang memakai kebesaran dengan di iringi oleh
pungawa-pungawanya. Ia sampai di Tangga Hulin, ketika orang-orang melihat
kedatangan Lembu Mangkurat, maka banyaklah orang merasa khawatir dan ketakutan
laksana ayam melihat burung elang.
Arya Malingkan datang dengan segera mengelu-elukan dan mempersilahkan
Lembu Mangkurat untuk masuk kedalam rumah. Dengan gusar dan berang Lembu
Mangkurat menjawab, bahwa ia hanya ingin mendapat keputusan satu hal apakah
Arya Malingkan suka menyerahkan anaknya atau tidak. Sekedar untuk mengertak,
Lembu Mangkurat menikam tangannya dengan pedang. Arya Malingkan terkejut
melihat bahwa Lembu Mangkurat sama sekali tidak luka dimakan senjata dan agak
ketakutan ia memerintahkan dengan segera menyuruh menjemput anaknya. Lembu Mangkurat
pergi kembali dengan segera bersama gadis tersebut untuk menghadap raja.
Tetapi kemudian raja ternyata raja tidak ingin kawin dayang Diparaja
karena yang di ingini ialah anak dari Dayang
Diparaja. Sekarang timbul kesukaran yang harus di pecahkan siapakah yang
harus mengawini gadis tersebut. Akhirnya semua berpendapat dan seia sekata
bahwa hanyalah Lembu Mangkurat yang pantas dan tepat. Perkawinan segera di
lakukan dan perkawinan ini di rayakan
tujuh hari tujuh malam lamanya.
Tidak berapa lama kemudian Dayang Diparaja hamil. Walaupun cukup bulan
dan harinya, ia belum juga melahirkan. Barulah sesudah lima belas bulan terasa
sakit hendak beranak, sakit yang di derita sudah tiga hari tiga malam. Dengan
bermacam-macam cara dan syarat di coba menjauhkan segala pengaruh jahat, tapi
semua sia-sia belaka, bahkan Lembu Mangkurat sendiri telah berputus asa. Tiba-tiba dari asuhan si
ibu yang sakit mendengar suara : “ Oh
ayahanda Lembu Mangkurat, tidaklah melalui jalan yang tidak bersih anakda akan
lahir, tapi anakda hendak keluar dari sisi kiri ibunda, bedahlah dan perbuatlah
ini untuk anakda”. Sejurus lamanya Lembu Mangkurat di dalam kebimbangan.
Tetapi kemudian ternyata kewajiban untuk mempersembahkan kepada raja seorang
permaisuri adalah kewajiban yang terlebih berat. Lembu Mangkurat sisi kiri
Dayang Diparaja yang segera meninggal sesudah beramanat supaya menjaga
baik-baik anaknya. Seorang anak yang cantik lahir dengan perhiasan yang
biasanya dipakai oleh gadis-gadis. Lembu Mangkurat memberikan perintah supaya menyusui
anaknya yang di beri nama puteri Huripan.
Telah tiga hari puteri Huripan tidak mau menyusu. Akhirnya ia sendiri
menerangkan bahwa ia hanya akan suka meminum susu kerbau putih. Lembu Mangkurat
menitahkan dengan segera memenuhi permintaanya. Maka sejak itulah pamali
(dilarang) bagi turunannya memakan daging kerbau putih. Ketika Arya Malingkan
dan isterinya medengar berita kematian anaknya, maka mereka pun mengambil
keputusan untuk mengikuti jejak anaknya. Sebelumnya ia meninggal dunia, ia
memamah sepah dari pinang muda, sedang isterinya memamah sepah pinag tua. Ia
memerintahkan pesuruhnya untuk menanam sepah itu di dalam tanah. Dari padanya
kemudian tumbuh jaringau dan perawas yang akan berguna buat obat cucunya puteri
Huripan. Inilah asalnya jaringau dan pewaras mula-mula tubuh di Tangga Hulin
yang sejak itu disebut Huripan.
Apabila puteri Huripan sudah akil baliq, maka ia pun di persembahkan
kepada raja. Dengan segala upacara kebesaran perkawinan di rayakan. Sebagai
lazimnya, kedua mempelai di mandikan di padudusan dan kemudian di arak kembali ke istana.
Beberapa lama kemudian, maka pemaisuri pu melahirkan seorang puteri yang di
namai puteri Kalarang sari. Setelah puteri ini dewasa, maka ia di kawinkan
dengan saudara raja Pangeran Suryawangsa, karena hanya pangeran Suryawangsa
sajalah yang layak baginya. Puteri Kalarang sari melahirkan seorang putera yang
di beri nama Raden Calang Lalen. Raja juga masih mendapat karunia puteri yang
di namai Puteri Kalungsu. Atas keinginan raja,
kedua anak ini yaitu Raden Calang Lalen dan puteri Kalungsu di kawinkan.
Pada kira-kira waktu inilah Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa meninggal.
Pada suatu waktu ketika segala keluarga dan semua pegawai istana
sedang berkumpul dan bersenang-senang, maka Maharaja suryaganggawangsa dan
puteri Huripan menerangkan bahwa mereka akan kembali ke asal. Kepada Lembu
Mangkurat di amanatkan supaya menjaga Calang Lalen dan puteri Kalungsu dan
hendaklah mengajar mereka menurut adat turun-temurun dari raja-raja.
Lembu Mangkurat mencoba supaya raja dengan permaisuri memalingkan
pikiran agar menunda kembali ke asal., tetapi sebelum itu, keduanya telah gaib
dari pandangan mata sekalian semua yang hadir.
Atas perintah Lembu Mangkurat maka di bangunkan sebuah mahligai
padudusan. Dengan di sertai penembakan meriam dan gemelan, Raden Calang Lalen
dan Puteri Kalungsu dimandikan dengan segala upacara dan kemudia raja baru
itupun meletakan mahkota di kepala.
Di dalam tata negara tidak ada dibawa perubahan. Keturunan menteri di
jadikan menteri, keturunan bendahara di jadikan bendahara dan demikian pula
halnya dengan pegawai lainnya. Tiap-tiap hari sabtu tetap di adakan kesempatan untuk menghadap.
Permaisuri melahirkan seorang putera yang di namai Sekar Sungsang.
Ketika putera raja ini baru berumur enam tahun, raja menerangkan kembali ke
asal dan menyerahkan pemerintahan kepada Lembu Mangkurat sementara raja putera
masih belum dewasa. Kemudian rajapun lenyap dari pandangan mata yang
menerbitkan kesedihan kepada seluruh isi istana dan rakyat sekalian. Tidaklah
lama sesudah itu, pada suatu waktu
puteri Kalungsu membuat juadah. Sekar Sungsang yang masih muda belia itu
kadang-kadang mendekati ibunya, berulang-ulang untuk meminta suap. Karena
juadah itu belum masak, ibunya menyuruh ia supaya pergi dulu. Tetapi akhirnya
sekar sungsang tidak dapat menahan nafsu seleranya dan mengambil sejilatan.
Melihat hal ini ibunya menjadi gusar dan memukul sebuah sendok di kepalanya.
Dengan kepala bercucuran darah, anak ini lari, makin lama makin jauh sehingga
dengan tidak setahu siapa pun jua ia di lihat oleh seorang pedagang dari
surabaya bersama juragan Balaba yang datang ke Negaradipa untuk berniaga. Ia
menaruh belas kasihan dan membawa anak itu ke kapalnya . Juragan Balaba pada
ketika itu telah menduga bahwa anak itu tidaklah anak biasa saja, karena dari
tubuhnya keluar cahaya yang bersinar. Karena segala anak buah kapal ingin segera berangkat, maka juragan Balada
pun mengambil keputusan akan segera berlayar dengan membawa Raden sekar
sungsang.
Adapun permaisuri memerintahkan mencari anaknya ke segala pelosok,
tetapi buahnya sia-sia belaka. Benar ada beberapa orang yang menerangkan, bahwa
mereka melihat sebuah kapal berlayar dengan membawa seorang anak, tetapi mereka
tidak dapat mengatakan apakah anak itu raden sekar sungsang yang di cari.
Walaupun demikian kapal itu dikejar juga sampai di muara sungai, tetapi rupaya
kapal itu telah berlayar ke laut terbuka. Lembu Mangkurat menitahkan menyiapkan
empat buah kapal untuk pergi keseberang lautan. Kapal-kapal itu sampai di
surabaya. Di sini diadakan penyelidikan penyelidikan di mana-mana, tetapi
ternyata seorangpun tidak dapat memberikan keterangan. Penyelidikan dilakukan
sampai ke gersik, tetapi buahnya juga tidak ada. Tiap-tiap musim, Lembu
Mangkurat mengirim penyelidik-penyelidik, tetapi jejak anak itu tidak juga di
peroleh. Raden sekar Sungsang yang sementara itu bergelar Ki Mas Lelana, telah
di pandang oleh juragan Balaba dan isterinya sebagai anak kadungnya sendiri.
Ayah dan bundanya ini ingin supaya ia beristeri, tetapi Ki Mas Lelana sendiri
belum mempunyai keinginan beristeri, tetapi Ki Mas Lelana tetap tinggal di
surabaya. Pada suatu hari ia menerangkan cita-ciatanya hendak pergi ke
Negaradipa bersama-sama dengan juragan Dampu Awang untuk berniaga. Mula-mula ibu
angkatnya menahan dia, tatapi karena Ki Mas Lelana sudah tetap hati hendak
menjalankan cita-citanya, maka dengan sedih ia memberikan alat-alat dan bekal
untuk berangkat. Dengan segera mereka berlayar mengarungi lautan. Apabila
sampai di Negaradipa maka Dampu Awang sesudah membayar bea, lalu membeli lim
ikan, damar, lilin, topi, tikar, emas, real, ayam sambungan dan tenggalung.
Juga Ki Mas Lelana menawarkan barangnya : gula kelapa, minyak nyiur, asam,
bawang, beras, sagu, kain batik, ikat pingang, kopiah dan alat-alat wayang dan
topeng. Lembu Mangurat menerima ini semuanya dan ia mengharapkan supaya Ki Mas
Lelana tinggal di Negaradipa sampai di musim yang akan datang dan ia
menyerahkan sebuah rumah dengan pekarangannya. Juragan Dampu Awang mendapat
perintah supaya memberi tahukan hali ini kepada ibu angkat Ki Mas Lelana bahwa
ia kembali ke jawa pada tahun depan.
Lembu Mangkurat mencoba menganjurkan supaya puteri Kalungsu kawin
lagi, ia mengabarkan, bahwa seorang sudagar muda turunan raja majapahit, muda dan
cantik, sekarang tinggal di rumahnya. Muala-mula permaisuri membantahnya,
tetapi kemudian akhirnya ia meminta supaya orang asing itu datang menghadapnya
pada hari menghadap.
Dengan upacara kebesaran, pada ke esokan harinya Lembu Mangkurat
dengan pakaian yang indah-indah dan tanda kebesaran menuju ke Sitiluhur. Dengan
pakain yang indah-indah pula berjalan di sampingnya dengan tampan dan gagah Ki
Mas Lelan. Apabila tiba di Sitiluhur, maka duduklah ia di belakang Lembu
Mangkurat. Apabila puteri Kalungsu terpandang kepada pemuda yang cantik itu,
puteri pun jatuh cinta asmara kepadanya. Dan apabila kemudian Lembu Mangkurat
datang meminta jawaban, puteri kalungsu menyatakan persetujuannya. Sedang
saudagar muda itu pun sudah menimbang-nimbang, menyatakan pula tidak keberatan.
Sebuah pedudusan didirikan dan tujuh hari tujuh malam lamanya
perkawinan itu di rayakan menurut adat istiadat raja-raja yang sudah-sudah.
Tetapi walaupun Ki Mas Lelan adalah keturunan raja Majapahit, ia tidak dapat di
jadikan raja, karena ia tidak lahir kedunia karena tapa. Jika seandainya dari
perkawinan itu lahir seorang putera, maka ialah yang akan di rajakan, karena ia
dan ibunya berasal dari raja-raja yang lahir dengan cara kekuatan gaib. Dengan
demikian, maka buat sementara lembu Mangkurat tetap wakil raja di Negaradipa.
Ketika pada suatu hari puteri kalungsu sedang membersihkan kepala
suaminya, ia menampak sebuah tanda bekas luka dan menanyakan asal mulanya.
Mula-mula ia menerangkan, bahwa ia sendiri tidak mengetahuinya, tetapi ketika
isterinya selalu mendesak, akhirnya ia menceritakan bagaimana ia ketika masih
kecil pada suatu hari menderita pukulan di kepala dari ibunya, sebab ia
membikin gusar ibunya dengan meminta berulang-ulang juadah yang sedang di
tanak. Di ceritakan pula bahwa ia kemudian melarikan diri dan beberapa tahun
tinggal di jawa. Selain dari pada itu ia tidak tahu apa-apa. Dengan terperanjat
puteri Kalungsu menolak kepala suaminya dari asuhan, “ Jika demikian, engkau adalah anakku sekar Sungsang”, Menjerit
puteri Kalunsu. Ki Mas Lelana meniarap dengan menangis di kaki ibunya dan
memohon ampun dan mengharap supaya membunuhnya.
Puteri kalungsu menyuruh datang Lembu Mangkurat dan kepada di
ceritakan peristiwa yang mengejutkan itu. Lembu Mangkurat tidak mau mengambil
keputusan, tetapi mengharap supaya permaisuri sendiri yang memutuskan, apakah
yang harus dikejakan. Dengan ini permaisuri memutuskan bahwa mereka harus
bercerai untuk selama-lamanya, dan permaisuri menukar nama anaknya dengan Raden
Sari Kaburangan. Selanjutnya ia tinggal di suatu kampung lain.
Raden Sari kaburangan di nobatkan menjadi raja menurut kebiasan
turun-temurun, dan ia mengenakan mahkota diatas kepala. Setahun kemudian raja
memindahkan kerajaan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan baru ini di sebut
Negara Daha, dan sampai sekarang ini tempat itu masih masyur dengan nama Negara.
Di Muara Bahan dibikin sebuah pangkalan, dan di negara pangkalan ini datanglah
bertinggal saudagar-saudagar dari gujarat, tiongkok, melayu, makassar, bajau, sedang
sedikit sekali yang tinggal di tempat pangkalan lama di Muara Rampiau.
Tidak beberapa lama kemudian hilang gaiblah Puteri Kalungsu yang
tinggal di Negaradipa bersama-sama dengan lima ratus orang pengiring. Di dalam
waktu itu pula Lembu Mangkurat meninggal dunia. Seabagai Mangkubumi diangkat
seorang putera Ayra Megatsari yang bernama Arya Taranggana, seorang yang sangat
cerdik bijaksana.
BAGIAN II
ZAMAN ARYA TARANGGANA
1. Maharaja Sari Kaburangan
a. Kutara.
b.
Raden Sukarama dan Raden Bangawan.
c. Amanat akan menghadapi banyak kesukaran.
d.
Maharaja Sari kaburangan gaib.
2. Maharaja Sukarama
a. Penobatan
b.
Empat putera raja yang sakti
c. Amanat yang sulit
3. Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung
a. Raden Samudera menghindarkan diri.
b. Mahkota
yang berat.
c. Pembunuhan
Pangeran Mangkumi.
d.
Penobatan pangeran Tumenggung mengecewakan.
4. Raden Samudera
a. Keyakinan Patih Masih
b. Pemindahan pusat perdagangan dari Muara Bahan ke
Banjar.
c. Pertempuran di hujung Halalak.
d. Bantuan Demak.
e. Pertempuran di Rantau Sangyang Gantung
f. Perkelahian seorang melawan seorang.
5. Pangeran Suriansyah
a. Memeluk agama islam.
b. Arya Taranggana menjadi Mangkubumi dan Hakim
tinggi.
6. Sultan Rakhmatillah dan Sultan Hidayatullah
a. Utusan ke Demak dan Pajang
b. Arya
Taranggana berpulang ke rakhmatullah.
Arya Taranggana, sebagai sebagai Mangubumi yang arifin menyusun
kutara, peraturan tata negara. Sampai sekarang Kutara itu terkenal dengan nama
Kutara Arya Tarnggana, pemerintahan. Maharaja Sari Kaburangan adalah sangat
adil. Tiap-tiap hari sabtu dengan resmi di berikan kepada rakyat untuk
menghadap, sebagai pula di zaman maharaja Suryanata, datanglah menghadap
baginda kepala-kepala dari daerah Sakawang, Bunyut, Karasikan, Berau, Sambas,
Sukadana, Belitung Lawai dan Kotawaringin. Juga Turunan Keling dan Gujarat yang
ikut bersama datang dengan Empu Jatmika ke Negaradipa tinggal tetap setia
kepada raja sari Kaburangan. Peraturan negara tetap susunan Negara Majapahit,
sedang orang-orang jawa banyak pula yang tinggal tetap berdagang di Muara
Bahan.
Dengan mengawini seorang puteri, anak seorang menteri, raja mendapat
dua orang anak yang di namai Raden Sukarama dan Raden Begawan. Apabila telah
dewasa, putera raja yang sulung kawin dwngan empat orang puteri semua anak
menteri-menteri sedang putera yang bungsu kawin pula dengan seorang puteri
menteri.
Pada suatu hari raja menitahkan supaya Arya Taranggana datang
menghadap dan ia memberitahukan ia akan meninggalkan dunia. Raja meamanatkan
pemeliharaan keluarga dan rakyatnya dan menerangkan pula bahwa mereka akan menghadapi
banyak kesukaran. Kepada putera-putera baginda di pesankan supaya
mempertahankan adat istiadat. Diperingatkan pula supaya jangan mengikuti orang
asing dan jangan menanam lada dengan besar-besaran. Kemudian raja pun gaib dari
pandangan mata rakyatnya.
Raden Sukmarama di nobatkan menurut adat istiadat yang telah lazim. Ia
memerintah dengan setia mengikuti adat lama dengan di bantu Arya Taranggana.
Maharaja Sukarama mempunyai empat orang putera yang bernama Raden paksa, Raden
Panjang, Raden Bali dan Raden Mambang. Raden Bali adalah seorang putera raja
yang kebal senjata, tidak di makan senjata. Rambutnya di sanggul karena panjang
tidak dapat di gunting. Putera yang paling bungsu mempunyai kesaktian dapat
melompat jauh (terbang). Ketika meraka telah dewasa, mereka mendapat gelaran masing-masing,
ialah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung, Pangeran Bagalung dan Pangeran
Jayadewa memperoleh seorang anak, tapi meninggal selagi kecil.
Dan kemudian gaib pula Pangeran Jayadewa. Seorang puteri dari Maharaja
Sukmarama bernama puteri Galuh kawin dengan putera saudara raja Raden Bangsawan
yang bernama Raden Mantri Jaya, Raden Jaya dengan Puteri Galuh mendapat seorang
putera yang oleh neneknya di beri gelar Raden Samudera. Beberapa tahun kemudian
Raden Samudera kehilangan ayah bundanya dan neneknya Raden Bangawan dan sejak
itu maka Raden Samudera hidup di bawah pemeliharaan Maharaja Sukmarama.
Pada suatu hari Raja dihadapi oleh rakyatnya, Raja bersabda bahwa
cucunya Raden Samuderalah yang kelak yang mengantikannya. Pangeran Tumenggung
menjadi gusar dan ia menerangkan bahwa saudara-saudaranya atau ia sendiri yang
berhak lebih dulu menjadi raja dari pada Raden Samudera. Karena Raja tidak
bersedia untuk menarik perkataan, yang sekali telah dikeluarkannya, Pangeran
Tumenggung menyatakan selanjutnya ia akan menjadi musuh seumur hidup Raden
Samudera. Saudara Pangeran Bagulung setuju dengan pendirian Pangeran
Tumenggung, sedang Pangeran Mangkubumi menyatakan menyerah kepada keadaan yang
tidak dapat di singkiri.
Ketika Raden Samudera berusia tujuh tahun, Maharaja Sukarama telah
meninggal dunia. Dan karena Arya Taranggana khawair, Raden Samudera tidak akan
amakn dari penyerbuan paman-pamannya, ia menyuruh supaya Raden Samudera lari
menghindarkan diri. Ia memberikan kepadanya sebuah perahu, sebuah jala, bekal
makanan dan pakaian. Arya Tarnggana memberi nasehat supaya menghilir sungai,
melalui Mura Bahan ke Serapat, Balandean, Banjarmasin atau Kuwin (kuin).
Hendaklah ia dapat hidup dengan menagkap ikan. Jika ia mendengar bahwa ada
orang-orang yang dikirim paman-pamannya datng didaerah kediamannnya, haruslah
ia hendaknya menyembunyikan diri. Dengan demikian berangkatlah Raden Samudera.
Pangeran Tumenggung dan Pangeran Bagalung menyuruh orang mencari Raden
Samudera kesana-sini tatapi buahnya hampa belaka. Sementara itu diselenggarakan
upacara pemakaman jenah Maharaja Sukarama. Peti jenazah dengan segala
tanda-tanda kebenaran dibawa didalam sebuah perahu ke Negaradipa dan di
makamkan di candi. Apabila meraka kembali lagi di Negara Daha, maka ketiga
putera Raja menjamu menurut adat istiadat segala menteri dan hulubalang.
Sekarang Pangeran Mangkubumi akan dinobatkan . Ia meletakan mahkota dikepala,
tetapi mahkota ini baginya adalah kekecilan dan terlalu berat pun kedua saudara
Pangeran Tumenggung dan Pangeran balalung tidak pula berhasil mengenakan
mahkota ini. Walau demikian Pangeran Mangkubumi ingin juga dinobatkan. Ia
diusung didalam usungan menuju pandudusan dan disinilah ia akan dimandikan
menurut adat.
Tatapi ketika senapan-senapan yang dibawa oleh Suryanata dari
Majapahit ditembakan, maka senapan-senapan itu sebuahpun tidak yang berbunyi,
Pun ketika dipalu gong Si Rambut Paradah dan di bunyikan gamelan Si Rarasati,
suaranya kedengan sumbang dan tidak nyaring. Dengan terperanjat orang-orang
menyaksikan peristiwa itu dan pulang kembali kerumah masing-masing.
Beberapa waktu kemudian Pangeran Bagalung pindah dengan dua ribu orang
pengiringnya ke Berangas, di hilir dari Negara Daha. Tetapi tiap-tiap hari
sabtu ia menghadap kakanda dan rajanya. Ia meninggal di Berangas dengan
meninggalkan dua orang anak, sedang turun
temurunnya masih ada yang berdiam di Muara Rampiau dan Muara Bahan.
Telah lama perhubungan antara Maharaja Mangkubumi dan saudaranya
Pangeran Tumenggung agak tidak baik (renggang). Pada suatu hari seorang
punggawa raja bernama Saban telah berbuat yang tidak senonoh dengan panjogetan
bernama si Harum bertempat didalam istana. Kejahatan ini menurut undang-undang
harus ditebus hukuman mati. Peristiwa ini di dengar oleh Pangeran Tumenggung
yang dengan segera mengambil keputusan akan menebus Saban dengan Uang, dengan
maksud agar ia kelak dapat mengunakan saban sebagai alat setia di dalam
menjalankan rencananya. Ia mengirimkan orang pesuruhnya dengan sepuluh tahil
emas kepada raja, tetapi raja tidak mau meneriama uang tersebut dan
memerdekakan Saban dengan tidak untuk ditebus. Pada suatu hari Pangeran
Tumenggung bertanya kepada Saban apakah ia bersedia membunuh raja. Ia
menerangkan bahwa selama maharaja Mangkubumi masih hidup, hidupnya Saban masih
tetap terancam. Sebaiknya ia akan memperoleh segala yang diingininya jika
Pangeran Tumenggung telah memperoleh kekuasaan. Saban menerangkan bahwa ia
bersiap untuk itu, dan lalu dimulai mencari tipu muslihat.
Beberapa perempuan diperintahkan menghadap raja untuk memohon supaya
mengampuni Saban, karena ia ingi sekali mengabdi kepada raja. Maharaja
Mangkubumi mengabulkan permohonan ini dan Saban pu tinggal di istana. Ia
berhasil memperoleh kepercayaan raja, yang mengawinkan dengan pejogetan.
Rupanya Saban hampir telah lupa sama sekali dengan rencana pembunuhan, sehingga
Pangeran Tumenggung berpendapat perlu memperingatkan perjanjiannya. Dengan
ketakutan Saban mencari alasan-alasan, tetapi akhirnya ia berjanji pada malam
ini juga membunuh raja. Pada malam ini Raja mengadakan perayaan. Ketika hari
sudah subuh, dan banyak tamu-tamu telah mengantuk, maka Saban menikam Raja
dengan keris malela yang di perolehnya dari Pangeran Tumenggung. Didalam huru
hara ini seorang pun tidak ada berpikir mengejar si pembunuh, sehingga Saban
dapat menyerberangi sungai dan lari ke pangeran Tumenggung. Walaupun didalam
payah, Raja menunjukan bahwa yang berdosa adalah saudaranya sendiri. Raja
meminta supaya Arya Taranggana memperlindungi puterinya Sari Bulan dari ganguan
Pangeran Tumenggung.
Apabila Saban datang dihadapan pangeran Tumenggung, maka pangeran
Tumenggung menyuruh membunuh Saban untuk menyembunyikan dosanya. Tapi tiap-tiap
orang telah maklum bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya. Selanjutnya Pangeran
Tumenggung pergi menyeberang sungai dan memerintahkan supaya Arya Taranggana
membikin peti jenazah. Di dalam peti itu diletakan jenazah Raja yang terbunuh
itu dan kemudian dengan perahu di bawa ke Candi dan disinilah di makamkan.
Penobatan Pangeran Tumenggung sebagai Raja terjadi dengan
kejadian-kejadian yang menyedihkan seperti telah berlaku atas kakanda Raja.
Mahkota kerajaan tidak dapat di pakai, gong dan gamelan berbunyi sumbang sedang
senapan-senapan tidak mau berbunyi. Setelah menjadi Raja, maka anaknya Raden
Bagawan di kawinkan dengan kemenakannya Puteri Sari bulan.
Diceritakan bahwa Raden Samudera bertualang ke hulu ke hilir,
kadang-kadang di Sarapat, di Balendean, di Sungai Muhur, di Tamban, di Kuwin,
di Banjar, di Sungai Belitung. Ia hidup dengan menjual ikan. Orang-orang banyak
yang senang kepaada kepada Raden Samudera dan malah banyak orang yang ingin
mengambil menantu.
Pada ketika itu berdiam di Banjar seorang terpandang dan dihormati
oarang, bernama Patih masih. Patih Masih mendengar bahwa cucu Maharaja Sukarama
telah lari dari pamannya Pangeran Tumenggung dan sampai kini belum juga di
jumpai. Ia mengirim orang-orang untuk menyelidiki anak yang hilang itu.
Pesuruh-pesuruhnya mendapat kabar mendapat kabar bahwa ada seorang anak yang
cantik tampan yang bertualang di daerahnya, yang adat kelakuannya berbeda
sekali dengan orang biasa dan oleh budi bahasanya ia di sayangi penduduk.
Setelah lama di cari, anak itu di jumpai dan ia diharap supaya suka
bersama-sama pergi ke Patih Masih. Ia berkata bahwa ia malu untuk berhadapan
dengan seseorang terkemuka. Tetapi akhirnya Patih sendiri datang menjumpainyai.
Walaupun anak itu berpakaian compang-camping , namun Patih Masih dapat menampak
cahaya yang bersinar memancar keluar dari anak itu, yang menandakan bahwa ia
keturunan bangsawan. Sesudah menolak berulang ulang akhirnya Raden Samudera
ikut juga beserta Patih Masih.
Tiba di Banjar, Patih Masih menghormati Reden Samudera dengan segala
kehormatan karena ia hanyalah dari orang biasa saja. Tetapi Patih Masih tidak
mengindahkan segala keberatannya dan malah memberi tahu niatnya akan mengangkat
Raden Samudera sebagai Raja. Patih Masih mengadakan satu pertemuan yang di
hadiri oleh orang-orang terkemuka diantaranya Patih Balit dari Balandean, Patih
Muhur dari dari Serapat, Patih Belitung dan Patih Kuwin. Meraka mengenali
pemuda Raden Samudera sebagai anak yang datang membawa ikan dan tidak pernah
dilupakan mereka karena rupanya yang luar biasa. Semua melahirkan
persetujuannya dengan rencana Patih Masih.
Kemudian lalu diadakan perjamuan yang sangat mengembirakan sehingga
banyak yang jatuh mabuk. Pada ketika itulah dengan tidak terasa Raden Samudera
memuntahkan kata-kata bahwa ia selalu dikejar-kejar oleh Pangeran Tumenggung
dan jika tidak pertolongan Arya Taranggana tentu ia telah lama mati di bunuh.
Segala patih-patih menjadi riang gembira ketika mendengar perkataan
ini, karena mereka sekarang mengetahui bahwa Raden Samudera adalah sesungguhnya
cucu dari Maharaja Sukarama. Dengan hikmat ia dirajakan dan diberi gelar
Pangeran Samudera.
Atas nasehat Patih Masih diputuskan keesokan harinya pergi ke muara
bahan untuk mengajak pedagang-pedang asing berniaga dan tingal di banjar,
karena dengan itu terpindahlah pusat perdangagan dari muara bahan ke banjar.
Ini dijalankan dengan kekuatan yang terdiri dari lima ribu tentara orang
tentara. Mereka pergi memudiki sungai menuju ke muara bahan. Kedatangan ini
mengemparkan sekali . Segala pedagag-pedang menyatakan bersiap sedia untuk
mengikuti Raden Samudera ke Banjar, dan dengan demikian dilakukanlah pelayaran
kembali.
Pangeran Samudera tinggal dirumah patih masih yang dibentuk menjadi
istana. Susunan secara istana diatur, sedangkan beberapa barisan-barisan
diadakan. Di sungai Kelayan diadakan pelabuhan yang sekarang disebut sungai
pelabuhan. Sesudah ini semua selesai, maka Pangeran Samudera dimandikan
dipadudusan. Dan karena mahkota, gong si rabut, gamelan si Rarasati, masih
dimiliki oleh Pangeran Tumenggung, maka upacara ini belumlah dapat sama sekali
mengikuti upacara kebiasaan. Patih masih, patih balit, patih balitung, patih
kuwin, dan patih muhur masing-masing diserahi kewajiban yang penting. Agar
dapat memelihara orang-orang Muhur dan Balendean dari serangan musuh dari pihak
Pangeran Tumenggung, maka dititahkan supaya tinggal di Banjar.
Tidak beberapa lama kemudian Pangeran Samudera mendapat laporan bahwa
pamannya sedang merencanakan menyerbu Banjar. Dengan segala kecepatan
dibentuknya satu kekuatan satu angkatan perang. Pedangag-pedang asing membantu
dengan kekuatan seribu orang tentara. Segala jurusan diberitakan bahwa Pangeran
Samudera di Banjar menerima kekuasan kerajaan ke Timur sampai Kutei, Berau dan
karasikan , ke barat sampai Lawai dan Sambas.
Walau telah diperingatkan oleh Arya Taranggana bahwa Pangeran Samudera
adalah lebih besar daripada yang diduga oleh Pangeran Tumenggung, namun
Pangeran Tumenggung melanjutkan juga rencana peperangannya. Dengan kekuatan
tiga ribu orang tentara dan dan beberapa kutamara (benteng mengambang), ia berlabur
ke hilir melalui Muara Bahan. Ketika mendapat kabar bahwa musuh datang
mendekati, maka berangkatlah Pangeran samudera dengan perlengkapan kapalnya
menyosong musuh. Diujung pulau Halalak (alalak) terbitlah pertempuran. Sesudah
petempuran yang hebat tentara pangeran Tumenggung dapat dipukul mudur dengan
meninggalkan tiga ribu orang yang jatuh binasa. Tentara Pangeran Samudera
sebaliknya hanyalah menderta kerugian yang tidak berati.
Pangeran Tumenggung mengundurkan diri ke Negaradipa dan disini ia
menyiapkan untuk expedisi penyerbuan baru. Arya Taranggana memperingatkan
supaya hati-hati, karena Raden Samudera telah mengirim utusan sampai ke
karasikan dan sambas. Dan tentulah dari segala pelosok akan datang mengalir
bala batuan. Apabila setelah menderita kekalahan, semangat perjuangan tentara
Pangeran Tumenggung jadi berkurang, sedang keberanian pihak musuh
berkobar-kobar. Ia manasehatkan supaya memperkuat pertahanan kota dan mencoba
hati rakyat. Raden Harja, putera pangeran bagalung bersama-sama pengiringnya
juga mengambil sikap memperkuat pertahanan Negara Daha.
Dengan teratur Pangeran Tumenggung memerintahkan mengadakan
pengintaian sampai ke Muara Rampian dan sebaliknya Pangeran Samudera
mengirimkan pula pengintai-pengintai sampai Muara Bahan.
Berhubung dengan keadaan didalam perang ini maka perhubungan
perdagangan antara dalam negeri dan daerah-daerah ditepi pantai menjadi
terputus sehingga kedua belah pihak menderta kesukaran didalam beberapa macam
bahan makanan. Didalam menderita kesukaran ini Patih Masih menganjurkan kepada
Pangeran Samudera supaya meminta bantuan kepada Sultan Demak, raja yang paling
besar kekuasaannya sesudah kerajaan Majapahit runtuh. Pangeran Samudera setuju
anjuran ini. Patih Balit diperintahkan menjadi utusan dengan membawa sepucuk
surat untuk disampaikan kepada Raja Demak. Apabila telah selesai perlengkapan
maka berangkatlah Patih Balit dengan sepuluh buah kapal dan empat ratus orang
anak buah. Dengan tidak suatu halangan mereka sampai ke Demak. Ketika raja
mendengar bahwa ada utusan raja dari Banjar. Raja Demak pun memerintahkan
supaya Patih Balit dibawa menghadap ke paseban. Dengan segala tanda-tanda
kebesaran, utusan datang menghadap dan menyerahkan surat dari rajanya.
Sesudah mangkubumi selesai membaca surat tersebut Sultan Demak pun
menerangkan dengan segera bahwa ia sanggup memberikan bantuan kepada banjar
dengan perjanjian bahwa Pangeran Samudera akan masuk islam. Patih Balit kembali
ke Banjar dengan banyak membawa hadiah. Pangeran Samudera setuju dengan
perjajian yang diajukan itu dan mengirimkan lagi utusan untuk memberitahukan
hal ini kepada Sultan. Sultan memberikan bantuan seribu tentara yang bersenjata
lengkap dan mengirimkan pula seorang pengulu islam.
Ketika bala bantuan Demak tiba di banjar, disana telah terbentuk satu
tentara yang besar, segala daerah di Kalimantan yang sejak zaman Suryanata
telah tunduk, mengirimkan bala bantuan kepda Pangeran Samudera. Bala bantuan
itu datang dari Sambas, Batang lawai, Pasir, Pamukan, Laut pulau,Satui,
Asem-asem, Kintap, Sawarangan, Tambangan laut, Tangkisong dan Tabanio. Kekuatan
tentara Pangeran Samudera berjumlah empat puluh ribu orang sedang
pedagang-pedagang asing dari melayu Bugis Makasar dan jawa menyangupkan bantuan
dengan sekuat tenaga.
Dengan kekuatan yang besar tentara berangkat menyongsong air mengalir,
sedang gamelan dipalu dengan gembira.
Pangeran Samudera turut pula berangkat dengan kedudukan didalam sebuah gurap
yang diperhiasi dengan tanda-tanda kebesaran diiringi oleh Patih Masih, Patih
Balit, Patih Balitung, Patih Muhur, dan Patih Kuwin, masing-masing dengan
lencana kebesaran. Pertempuran hebat terjadi didekat Rantau Sangyang Gantung.
Bala tentara Pangeran Samudera berhasil menembus benteng pertahanan musuh
walaupun ia menderita agak banyak kerugian. Musuh akhirnya melarikan diri.
Pengejaran terhadap musuh dilakukan sampai ke Negara Daha. Segala penduduk
Negara Daha dengan tergesa-gesa menarik diri dan masuk didalam benteng
pertahanan yang terdapat disamping pertemuan Bantang Alai dan Batang Hamandit.
Karena disini sungai terlalu sempit untuk dilayari.
Pangeran Samudera menitahkan tentaranya supaya berhenti ditempat itu.
Sekonyong-konyong bertiup angin ribut, dan angin taupan ini menumbangkan
bendera-bendera dan tongkak panji-panji Pangeran Samudera yang melukiskan
seekor kera putih dengan dasar hijau hitam. Seketika itu juga beralih kemenangan dipihak musuh. Banyak
tentara Pangeran Samudera tewas binasa. Pada ketika itu Patih Masih memberikan
petunjuk supaya menebang pohonjingah dan menanam pokok pohon ini untuk
mengibarkan bendera raja. Apabila pekerjaan ini selesai, dengan keberanian baru
tentara Pangeran Samudera menyerbu kembali dan banyak mendatangkan kerugian
kepada musuh.
Berhubung dengan permusuhan yang berjalan telah sangat lama sehingga
kemungkinan Negara terancam bahaya akan runtuh binasa, maka Arya Taranggana
pergi menghadap Pangeran Tumenggung ia menunjukan akibat dari peperangan
keluarga dan peperangan saudara. “Apakah
gunanya menjadi raja, kalau akhirnya tidak seorang rakyat lagi juapun yang
ketinggalan?” berkata Arya Taranggana. Ia mengusulkan supaya raja dan
Pangeran Samudera mengadakan perjuangan seorang guna mengambil putusan. Dengan
secara demikian pula ia dan Patih Masih akan menentukan siapakah yang akan
menjadi mangkubumi. Pangeran Tumenggung menyetujui usul ini dan Arya Taranggana
menyampaikannya kepada pangeran samudera. Juga pangeran samudera setuju atas
usul ini dan perkelahian seorang melawan seorang itu ditetapkan akan dilakukan
pada keesokan harinya.
Pada jam yang ditentukan belayarlah dua buah perahu disungai Negara
Daha. Perahu itu dekat mendekati. Sebuah perahu ditumpangi oleh Pangeran
Tumenggung dan Arya Taranggana sedang sebuah lainnya ditumpangi oleh Pangeran
Samudera dengan Patih Masih ketika kedua perahu itu telah berdekatan, maka
Pangeran Samudera meminta supaya pamannya memulai perkelahian.
Ia sendiri tidak mau mengangkat senjata terhadap pada pamannya, karena
ia menganggap pamannya sebagai penganti ayahnya. “Tunjukkanlah senjata paman lebih dahulu kepadaku!” katanya,
Pangeran Tumenggung merasa hancur luluh hatinya dan dengan menangis ia pergi
menuju kemanakannya dan memeluknya. Pada ketika itu juga diadakan perdamaian.
Pangeran Tumenggung membawa kemanakannya ketempat kediamannya. Disini
ia menyerahkan lencana kerajaan dan segala harta benda yang beharga peninggalan
Pangeran Mangkubumi. Sesudah itu ditetapkanlah dengan upacara penobatan
Pangeran Samudera menjadi raja. Setelah segala upacara dan perayaan selesai.
Pangeran Samudera pulang kembali dengan membawa serta Arya Taranggana dan
penduduk Negara Daha (sekarang Nagara). Hanya seribu orang diperkenankan
tinggal untuk menjaga negeri. Pangeran Tumenggung mendapat daerah Batang
Hamandit dan Batang Alai. Nama dari Negara Daha itu masih terdapat sampai
sekarang dikota kecil Negara (Nagara). Pohon jingah tempat mengibarkan
bendera Pangeran Samudera masih terdapat
sampai sekarang ini dan apabila diwaktu angin teduh salah satu cabangnya patah,
maka ini adalah satu pertanda bagi penduduk Negara, bahwa ada keluarga raja
(perdipati) meninggal, sedang jika puncaknya yang patah, maka itulah tanda
meninggal dunia seorang raja.
Ketika Pangeran Samudera telah kukuh teguh berkuasa di Banjar, maka
dengan pertolongan penghulu dari Demak, di-islamkanlah segala penduduk. Disaat
itu seorang yang baru datang dari negeri Arab memberikan gelar kepada Pangeran
Samudera : Suriansyah (Surian=Allah) penghulu dan tentaranya kembali
kenegerinya, masing-masing dengan mendapat hadiah yang memuaskan. Selain dari
pada itu kepada mereka diberikan pula hasil bumi yang sangat banyaknya. Sampai
sekarang turun-turunnya masih terdapat berdiam di Demak dan Tedunan.
Demikian pula tentara-tentara bantuan dari daerah-daerah di kalimantan
pulang kembali ketempatnya masing-masing. Tiap-tiap musim barat sesudah itu
datanglah orang-orang dari Sebagau, Mendawai, Sampit, Pembuang, kotawaringin,
Sukadana, Lawai dan Sambas mengantar upeti , sedang musim timur datanglah
penduduk Tangkisong, Tambanan laut, Kintap, Asem-asem, Laut pulau, Pamukan,
Pasir, Kutei, Berau dan Karasikan.
Arya Taranggana dijadikan Mangkubumi yang juga menguasai Lelawangan
dari negeri-negeri yang takluk. Hanya ia yang diperkenankan mengeluarkan vonis
hukuman mati, sedang Patih Masih mempunyai hak untuk memberi keputusan menyita
barang-barang guna negara. Patih Balit, Patih Belitung, Patih Kuwin, Patih
Muhur diangkat menjadi jaksa. Didalam mengadili sesuatu perkara dipakai sebagai
pedoman Kutara, undang-undang yang disusun oleh Arya Taranggana, yang memeang
sejak itu telah berlaku. Dimasa itu kerajaan Banjar mempunyai bala tentara tiga
puluh ribu orang yang lengkap alat senjatanya. Tiap-tiap tahun Raja mengirim
utusan seorang menteri yang tertinggi menghadap Demak. Sebagai biasa tetap
diikuti adat istiadat jawa dan dilarang menanam lada untuk perniagaan. Lagi
pula tiap-tiap hari sabtu Sultan Suriansyah tetap memberikan kesempatan untuk
menghadap.
Sesudah beberapa lama kemudian, Rajapun mangkatlah baginda
meninggalkan dua putera. Jang Sulung dijadikan raja dengan gelar Sultan
Rachmatillah. Raja inipun selalu mengirimkan utusan ke Demak sebagai penghormatan.
Sesudah meninggal Sultan Demak, maka termasyur sultan Pajang yang bergelar
Sultan Surya Alam dan kepada sultan inilah banyak tunduk negara-negara di Jawa.
Ketika itu selanjutnya tidaklah Banjar mengirimkan lagi utusannya
kepada raja di Jawa. Sultan Rachmatullah mangkat dengan meninggalkan tiga orang
putera dan putera paling sulung Sultan Hidayatullah dinobatkan menjadi raja,
putera lainnya Raden zakaria dan pangeran Demang.
Sementara itu Arya Taranggana dan punggawa-punggwa tinggi Suriansyah
sudah berpulang kerahmatullah. Mangkubumi Kiai Anggadipa menjalankan peraturan
Al-Qur’an, adat isitiadat turun-temurun dan hukum tata tertib lama, Sultan
Hidayatullah mempunyai empat orang isteri dan selain dari pada itu mempunyai
pula empat puluh orang gundik.
ZAMAN MARHUM
PANEMBAHAN
1. RANGGA KUSUMA
a. Kekacauan dalam negeri
b. Rangga kusuma difitnah dan dibunuh
c. Perbuatan ajaib dari raja
d. Mematahkan serangan Belanda
2. Memindah
ibu kota
a. Perhubungan dengan Pasir
b. Martapura menjadi ibu kota
c. Pembebasan upeti
d. Sumpah Sultan Mataram
BAGIAN III
ZAMAN MARHUM PENEMBAHAN
SESUDAH
meninggal Sultan Hidayatullah, maka timbulah agak kekacauan dalam negeri. Salah
seorang putera raja bernama Rangga Kusuma mengumpulkan orang-orang Biaju dan
atas perintahnya membunuh punggawa-punggawa Kiai Wangsa, kiai wangsa, kiai
Kanduruan, Kiai Jagabaya, dan Kiai Lurah Samun bersama-sama segala keluarganya
kecuali perempuan dan anak-anak. Segala harta benda pungawa-pungawa itu
dibagi-bagi antara orang-orang Biaju itu. Salah seorang dari Biaju itu bernama
Sarang tinggal di Banjar. Ia memeluk islam dan kawin dengan seorang saudara
tiri dari raja baruyang bergelar Marhum Panembahan (Musta’inbillah). Karena itu
ia diberi gelar Nanang Sarang.
Raja sangat
sayang kepada Raden Rangga Kusuma. Berhubung dengan itu banyak sekali keluarga
merasa iri dengki kepadanya. Mereka mengadakan suatu rapat dan membongkar
segala kesalahan Rangga Kusuma. Mereka menuduh Rangga Kusuma merusak
Kepercayaan yang dicurahkan oleh seisi istana dan akhirnya mengadukan soal-soal
itu kepada raja. Mereka berhasil mengerakkan dan mempengaruhi Marhum Panembahan
mengambil keputusan menitahkan membunuh Rangga Kusuma. Seorang algojo bernama
Wirayuda diwajibkan menjalankan keputusan hukuman mati itu. Dengan tenang
rangga Kusuma menanti nasip yang menimpanya. Wirayuda menikam tiga kali dengan
keris didada Rangga kusuma, tetapi tidak dapat melukainya. Barulah setelah
Rangga Kusuma sendiri tiga kali mengusap ujung keris itu, keris itu dapat
ditikam kedalam badan Rangga Kusuma kira-kira satu jari dalamnya. Tetapi
setitik darahpun tidak ada mengalir dari tubuhnya. Rangga Kusuma Menyuruh
memberi tahukan kepada raja, bahwa ia maklum, bukanlah raja tetapi keluarganya
sendiri, yang menghendaki supaya ia tewas. Walau dengan hati yang patah. Raja
menitahkan juga menjalankan keputusan dengan menggencet jalan nafas. Keputusan
ini dilakukan dan kemudian mayatnya dibawa keistana.
Untuk
menghibur diri dan melupakan segala kesedihan Marhum Panembahan pergi menjala
ke Serapat. Pada waktu itu jalanya terkait dan tidak dapat seorang jaupun
melepaskannya. Oleh karena sebab itu raja sendiri terjun menyelam kedalam air
dan tidak timbul lagi. Pengiringnya menjadi sangat gelisah dan kemudian
terpaksa kembali untuk mengabarkan peristiwa yang menyedihkan itu. Tetapi
beberapa besar keheranan mereka, ketika mereka datang diistana dan menjumpai
rajanya. Pada suatu waktu raja mengulangi lagi berbuat perbuatan ajaib ini.
Peraturan
pemerintahan dizaman ini masih dizaman Suryanata Mangkubumi adalah orang yang
mempunyai pangkat yang paling tinggi dengan dibantu oleh seorang perwira dan
seorang Panganan.
Jabatan
lainnya antaranya, penghulu empat orang jaksa, Tuan khalifah dan tuan khatib. Peraturan
negara diatur menurut Nitisatra dan Prayogakrama.
Pada suatu
hari didalam suatu upacara resmi, raja menguraikan pendapatnya bahwa adalah
sebaiknya ibu kota pindah dari Banjar kedaerah yang lebih udik, karena kota
sekarang sangat berdekatan dengan laut dan karenanya mudah diserang oleh musuh.
Pendapat raja ini tidak mendapat perhatian umum.
Dua tahun
kemudian datanglah orang-orang Belanda dengan empat buah kapal. Mereka berlabuh
disebelah ilir pulau Kembang dan dari sana menebaki kota Banjar yang akibatnya
menerbitkan banyak kegaduhan. Beberapa orang menerangkan bahwa mereka sangup
membinasakan orang-orang Belanda itu. Tetapi mereka dilarang oleh raja untuk
berbuat demikian. Ia merencanakan cara lain untuk menundukkan orang-orang
Belanda itu.
Atas
perintah raja, penduduk disuruh meninggalkan kota Banjar dan membikin
pertahanan di Pamakuan, dan dari sini dapatlah mengadakan perlawan dengan
berhasil terhadap serangan Belanda.
Sesudah
sepuluh tahun tinggal di Pamakuan, lalu berpindah ke Amuntai. Disini tidak
didirikan kraton, karena Marhum Panembahan mendengar suara gaib Pangeran
Suryanata yang memperingatkan supaya tidak mendirikan ibu kotakerajaan ditempat
ketinggalan yang sama, tetapi hendaknya haruslah pindah kedaerah Batang Mangapan,
ketika itu dipilih Tambangan sebagai tempat kediaman, dan disini sesudah
sepuluh tahun pindah lagi ke Batang Banyu.
Ki Lurah
Cucuk mendapat perintah pergi ke Pasir guna menjemput Haji Tunggal dengan
keluarganya. Seorang puteri dari Haji Tunggal dikawinkan Marhum Panembahan
dengan Dipatinggending.
Pada suatu
hari ketika Marhum Panembahan menghilang diri. Sepuluh hari kemudian datang kembali dan menitahkan menebang
pohon-pohon kayu dilapangan Muara Halangan dan mendirikan Masjid dan istana
ditempat itu. MarhumPanembahan telah pergi berkeliling keseluruh daerah tetapi
tidak ada satu tempat juapun yang diangap lebih baik dari pada tempat yang
telah dipilih itu. Marhum Panembahan meramalkan anak cucunya akan ditimpa
malapetaka, jika mereka meninggalkan tempat itu, yang dinamakan Martapura.
Rakyat sekalian berpindah ke Martapura, yakni sesudahnya sepuluh tahun tinggal
di Batang Banyu. Di waktu itu datang kembali Ratu Bagus (Putera Raja
Hidayatullah) dari Tuban, karena Tuban telah ditaklukkan oleh Mataram.
Seorang
putera dari ratu Bagus dari Sukadana bernama Raden Saridewa datang ke Martapura
untuk dikawinkan dengan puteri Gilang. Puteri Gilang adalah cucu dari Marhum
panembahan, anak Pangeran Dipati Anta Kusuma. Pada perkawinan ini orang-orang
dari Sukadana ada yang melakukan pencurian sehingga banyak dari pada mereka
yang ditikam. Sejak waktu itu terdapat
pencurian di Martapura. Dizaman itu Marhum Panembahan menghadiahkan semua upeti
sukadana kepada cucunya Puteri Gilang, sehingga sukadana selanjutnya bebas dari
kewajiban mengirim upeti kepada Raja Banjar.
Disaat itu
pula Kotawaringin diserahkan kepada Dipati Anta Kusuma. Dipati Anta Kusuma
memerintahkan Dipatinggending untuk memerintah disana atas namanya.
Seorang
putera raja bernama Raden KusumaTaruna memperoleh seorang putera digelari Raden
Buyut kusuma Banjar. Sedang puteri Gilang melahirkan seorang putera dinamai
Raden Buyut Kusuma Mantan.Tidak lama anaknya lahir ia meninggal dunia. Apabila
anaknya sudah tidak menyusu lagi maka Raden Saridewa kembali ke Sukadana sedang
anaknya diserahkannya dibawah pendidikan Dipati Anta Kusuma di Martapura.
Arya
Mandalika dari Pasir yang asal-usulnya dari Giri sedang ibunya adalah anak dari
Haji Tunggal, kawin dengan Puteri Limbak, seorang cucu dari Marhum Panembahan.
Oleh perkawinan ini raja menghadiahkan upeti Pasir, sehingga selanjutnya pasir
tidak perlu lagi mengantar upeti.
Ketika Kiai
Martapura pergi ke Makasar, maka Kraing Patigaloang yang memerintah disana,
memohon kepadaMarhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di
Pasir, Raja memperkenankan permohon ini dan selain dari pada itu menyerahkan
pula desa-desa Satui, Asem-asem, Kintap, Sawarangan, dan Banacala Balang. Sejak
dizaman itu pula, Pasir, Kutei, dan Berau tidak lagi membayar upeti ke
Martapura.
Diceritakan
pula bahwa raja Sambas datang mempersembahkan dua butir intan, sebuah sebesar
buah tanjung yang dinamai si Giwang, sedang sebuahnya lagi sebesar telur burung
merpati yang dinamai si Misan. Raja Banjar menerima persembahan ini dan
membebaskan Sambas dari kewajiban mengantar upeti pada tiap-tiap tahun.
Sebagai
Mangkubumi pada waktu itu ialah Kiai Tumenggung Reksanegara. Ia dikirim oleh
Marhum Panembahan bersama-sama dengan Pangeran Dipati Tapasana, seorang dari
anak bungsu dan Kiai Narangraya ke Mataram untuk menyerahkan intan si Misam.
Selain dari pada itu mengirim pula muatan terdiri dari hasil bumi, lada, rotan,
barang nyaman dan lilin. Sultan Mataram menyambut pemberian ini dengan sangat
gembira dan bersumpah bahwa jika ia atau turun-temurunnya berbuat jahat
terhadap Matapura, maka tuhan akan mengutuki mereka sebagai pembalas pemberian
itu, diberikan beras, gula, asam, garam,bawang merah, bawah putih, dan minyak.
Apabila utusan-utusan tiba kembali maka mereka oleh Marhum Panembahan dikarunai
pula hadiah-hadiah yang mengembirakan.
BAGIAN IV
ZAMAN RAJA-RAJA DI MARTAPURA
1. Sultan
Inayutullah dan Saidu’llah
a. Buyut
b. Sikap Pangeran Martasari
c. Ratu Kotawaringin
2. Pangeran
Ratu dan Ratu Sultan Amirullah Bagus Kusuma
a. Wali raja
b. Menuntut hak Raden Bagus dan Raden Basu
c. Raden Bagus menjadi raja
ZAMAN RAJA-RAJA DI MARTAPURA
SETAHUN
kemudian Marhum Panembahan meninggal dunia, sebagai penganti ialah putera yang
paling sulung pangeran Dipati Tuha yang naik ditahta kerajaan dengan gelar
Sultan Inayatullah. Baginda lebih termasyur dengan gelaran Ratu Agung . Sepuluh
orang cucu dari Marhum Panembahan disebut “buyut”
. Rakyat tidak diperkenankan menyebut turunnya dengan nama demikian. Raden
Buyut Kusuma Banjar barulah berumur kira-kira tujuh tahun (baru ganti gigi),
ketika nenekda baginda meninggal dunia.
Pemerintahan
Inayatullah masih tetap mengikuti peraturan-peraturan raja-raja yang terlebih
dahulu. Yang menjabat Mangkubumi masih
tetap Kiai Tumenggung Raksanegara. Salah seorang pungawa bernama Pangeran
Martasari, menghindarkan diri ke Mandawai, dan mencoba dengan pertolongan
Mataram menantang raja. Tetapi ia kemudian mati
di Mandawai. Pangeran Dipati Anta Kusuma mendapat gelar Ratu
Kotawaringin. Ratu Kotawaringin menerima dari raja daerah-daerah disebalah
barat dari banjar sampai daerah Jalai. Dengan cucunya Raden Buyut Kusuma Matan,
Ratu Kotawaringin meninggalkan Martapura dan mendirikan di Jalai satu kota yang
dinamai Sukamara dan sesudahitu barulah ia menetap di Kotawaingin.
Pada tahun
ketujuh dari pemerintahannya, Raja Inayatullah mengirim utusan untuk minta
supaya adinda Raja Kotawaringin datang lagi di Martapura. Ratu Kotawaringin
harus lebih dulu menyelesaikan beberapa perkara, karena cucunya Raden Buyut
Kusuma Matan diminta oleh Raden Saridewa supaya datang ke sukadana. Raden Buyut
Kusuma Matan di Sukadana terkenal dengan gelar yang diberikan nenekda Pangeran Putera.
Pada waktu
itulah meninggalnya raja Martapura. Saudara raja pangeran Didarat (dulu bernama
Pangeran Dipati Anom) suka menjalankan pemerintahan tetapi tidak berani jika
tidak setahu paduka kakanda Ratu Kotawaringin. Oleh karenaitu ia mengirim
utusan supaya Ratu Kotawaringin datang di Martapura. Ratu Kotawaringin
berangkat ke Banjar sedang anaknya Pangeran Mas Dipati harus tinggal di
Kotawaringin.
Di Banjar,
Pangeran Kusuma Alam, putera dari raja yang meninggal dunia, menyerahkan segala
lencana dan tanda kebesaran kepada pamanda Ratu Kotawaringin, seperti gamelan
si Raraswati, gong si Rambut Paradah, bebende si Macan, Perpatuk si Mundarang,
tombak si Panutus dan keris si Masagiring dengan permohonan supaya suka menjadi
raja. Ratu Kotawaringin menyambut segala lencana dan tanda kebesaran raja ,
tetapi mengambil keputusan akan berembuk lebih dahulu di Martapura. Disini
telah berkumpul beberapa anggota dari keluarga raja. Sidang diadakan untuk
membicarakan pengantian raja, pendapat berlain-lainan.
Satu
golongan hendak merajakan Pangeran Didarat (saudara Ratu Kotawaringin), sedang
golongan lain memilih Ratu Kotawaringin. Akhirnya Ratu Kotawaringin mengambil
keputusan yang tidak boleh dibantah lagi, ia memilih kemenakannya Kusuma Alam
untuk dinobatkan menjadi raja. Kusuma Alam diharap datang dan oleh Ratu Kotawaringin
diberi tahukan keputusan yang telah diambil. Dengan susah payah untuk mengambil
hati Kusuma Alam, karena ia menolak untuk dirajakan, tetapi akhirnya ia
terpaksa juga menyatakan persetujuannya. Sesudahnya diadakan
pembicaraan-pembicaraan lebih lanjut, barulah semua keluarga semupakat. Pun
Pangeran Didarat menyatakan pula persetujuannya.
Kepada
Kusuma Alam diserahkan kembali segala lencana dan tanda kebesaran kerajaan. Ia
dinobatkan menjadi raja dengan didudus (dimandikan) oleh paman-paman dan
nenekda, Raja ini terkenal dengan gelaran Ratu Anom. Gelaran yang lain ialah
Sultan Saidu’llah. Pangeran Didarat mendapat gelar Panembahan Didarat dan
menjadi mengkubumi di Martapura. Lima tahun kemudian ia meninggal dan diganti
oleh Ratu Kotawaringin bergelar Begawan. Lima tahun kemudian Ratu Begawan
memohon berhenti dari jabatanya. Ia digantikan oleh Dipati Tapasana yang juga
putera dari Marhum Panembahan, dan ia sebagai Dipati Mangkubumi menjalankan
pemerintahan di Martapura.
Sesudah
memerintah lima belas tahun lamanya, Ratu Anom mangkat. Dua tahun sebelaumnya
telah meninggal Ratu Bagawan. Ratu Anom meninggalkan dua putera yang masih
belum dewasa ialah Raden Bagus dan Raden Basu. Atas usul dari Ratu Hayu, puteri
dari Marhum Panembahan dan bibi dari raja yang telah meninggal, maka pengeran
Mangkubumi (Tapasana) dijadikan raja sementara Raden Bagus belum dewasa. Ketika
ia naik tahta kerajaan, ia bergelar Ra’yatillah. Tetapi raja ini lebih terkenal
dengan gelaran Pangeran Ratu. Pangeran Mas Dipati dijadikan Mangkubumi dengan
Kartasatu sebagai Pangiwa.
Diceritakan
kemudian perkawinan Raden Subangsa,
saudara Pangeran Singamarta (Pangeran Singamarta anak oleh Ratu Hayu, cucu Marham
Panembahan) yang pergi ke Sumbawa, disini ia kawin dengan puteri Raja.
Isterinya meninggal setelah melahirkan seorang putera, yang diberi nama Raden
Mataram. Kemudian ia kawin lagi dengan puteri Raja itu di Sumbawa dan disini ia
mendapat seorang putera yang dinamai Raden Banten. Bagi orang-orang Selapang
dan Sumbawa, Raden Subangsa terkenal dengan nama Pangeran Taliwang, karena
ibunya Raden Mataram tinggal Taliwang.
Raden Bagus
dan Raden Basu tinggal berdiam di Halalak (Alalak). Pangeran Dipati Anom,
adinda dari raja yang meninggal,mengirimkan dua utusan yang dipercaya yakni
Raden Panjangjiwa dan Kiai Sutajaya kepada orang-orang Biaju dengan membawa
perintah supaya mereka ikut membantu didalam melaksanakan cita-citanya untuk
meminta kembali kekuasaan pemerintahan
dari Pangeran Ratu untuk kedua orang kemenakannya. Mereka semua
menyatakan siap sedia, dan tiga ribu orang Biaju berlabuh dengan perahu. Selain
dari pada itu, banyak penduduk-penduduk desa yang mengabungkan diri dengan
Pangeran Dipati Anom.
Panjangjiwa
pergi kepada Mangkubumi Pangeran Mas Dipati untuk menyampaikan permohonnya
tuannya menghadap raja. Raja ada di Banjar ketika menerima berita ini. Sesudah
Bermusyawarat dengan dewan-dewan kerajaan, ia mengambil keputusan akan kembali
ke Martapura. PangeranDipati Anom menunggu dengan sia-sia kabar dari Mangkubumi, dan lalu mengirim seorang
penyelidik ke Banjar untuk menyelidiki apa yang terjadi. Sesudah ia mendapat
keterangan, bahwa raja tidak ada lagi diistana, maka ia berangkat dengan lima
ratus orang pengiring ke Kayutangi. Disana Raden Panjangjiwa berjumpa dengan
raja. Atas nama tuannya ia meminta segala lencana dan tanda kebesaran kerajaan
dan segala isi keraton guna Raden Bagus. Pangeran ratu lebih dari dahulu hendak
bermusyawarat dengan segala Pungawa dan anaknya Arya Wiraraja. Pangeran Ratu
lalu mengadakan sidang dan meminta petunjuk-petunjuk mereka. Pendapatan terbagi-bagi, satu golongan
menerangan perasaan cemburu atas maksud –maksud Pangeran Dipati Anom, sedang
yang lain setuju memenuhi permintaan itu. Akhirnya Raden Bagus menjadi juga
raja dengan gelar Ratu Sultan Amirullah Bagus Kusuma.
Wallahu’alam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar