Senin, 02 Desember 2013

SEJARAH KERAJAAN BANJAR


HIKAYAT
LEMBU MANGKURAT
Oleh
H.G. Mayur, S.H.



SAMBUTAN KEPALA PERWAKILAN DEPARTEMEN P DAN K
PROPINSI KAL-SEL MENYAMBUT TERBITNYA BUKU
HIKAYAT LEMBU MANGKURAT

Suatu kehormatan bagi saya untuk memberikan kata sambutan pada suatu buku “HIKAYAT LEMBU MANGKURAT” yang disusun oleh seorang putera dibumi lembu mangkurat yang cukup dikenal namanya yaitu saudara Gusti Mayur S.H.

Saya menyambut baik terbitnya buku hikayat lembu mangkurat ini mengingat mamfaatnya yang cukup besar.

Saya mengharapkan agar buku ini dapat dijadikan bahan bacaan bagi murid/pelajar

Oleh karenanya tentu buku ini akan senang dimiliki oleh setiap perpustakaan sekolah di kalimantan selatan khususnya.

Wajarlarlah apabila Hikayat Lembu mangkurat ini  diketahui/dikenal oleh semua siswa karena isinya yang baik yang menjadi suri tauladan bagi kita semua.

Kepada saudara Gusti Mayur S.H. saya pada kesempatan ini mengucapakan selamat dan rasa bahagia atas dapat terbitnya buku Hikayat Lembu Mangkurat ini.

Semoga buku Hikayat Lembu Mangkurat ini akan mengugugah perasaan serta dapat mendorong para generasi sekarang/khususnya generasi muda untuk mempusakai jiwa serta nilai-nilai Lembu Mangkurat untuk mengisi dan membangun bangsa indonesia yang tercinta ini.

Dengan buku ini jiwa Lembu Mangkurat akan terus hidup sepanjang zaman dan sepanjang sejarah.


BANJARMASIN, TGL 28 OKTOBER 1974
KEPALA PERWAKILAN DEPARTEMEN P DAN K
KALIMANTAN SELATAN


ASNAWI
PENDAHULUAN

Hikayat Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat) Melukiskan terutama hikayat raja-raja Banjar dan Kotawaringin.

Beberpa pujangga tua mencoba mengubah Hikayat Lembu Mangkurat ini dengan sebaik-baiknya menurut ukuran pendapat dan pengetahuan masing-masing. Kebayakan gubahan ini berupa syair yang indah dengan dibumbuhi fantasi yang menarik.

Isi buku ini adalah ringkasan  dari sebuah gubahan pujangga tua, yang kemudian dari dissestasi A.a. Cense untuk memperoleh gelar Doktor.

Kiranya buku ini dapatlah juga memberikan bantuan bahan dan dorongan kepada penaruh minat sejarah untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut.


Gt. Mayur S.H.









Penerbit CV. RAVI Banjarmasin
Cetakan ke 2
Di tulis ulang: ARIF RAKHMAN HAKIM
November 2013
















BAGIAN I

ZAMAN LEMBU MANGKURAT

    1. EMPU JATMIKA
a.    Mencari  negara baru
b.    Armada ke negeri keling
c.    Perjalanan ke tionkok
d.    Patung gangsa
e.    Susunan negara dan amanat raja


    2.  Raja puteri
a.    Putri junjung buih
b.    Bambang sukmaraga dan bambang             patmaraga
c.    Luhuk badangsanak telaga Raha, sungai     darah

     3.  Raja putera
a.    Ke Majapahit
b.    Si Rarasanti , si macan
c.    Pangeran Suryanata dan gong si Rabut      Paradah

d.    Penobatan
e.    Raden Suryaganggawangsa dan Raden         Suryawangsa

f.     Kembali atsal

4.    Raja Suryaganggawangsa
a.    Anak dayang diparaja
b.    Perkawinan lembu mangkurat
c.    Puteri kuripan dan larangan memakan       daging kerbau putih

d.    Jaringau dan perawas

     5. Raden Carang Lalean
a.    Pulang keatsal
b.    Puteri kalungsu
c.    Terkawini ibu
d.    Raden Sari Kaburangan
e.    Puteri kalungsu bersama 500 pengirim     gaib
f.     Lembu Mangkurat meninggal




BAGIAN I


ZAMAN LEMBU MANGKURAT

D I NE G E R I   Keling Hiduplah seorang pedadang yang kaya raya bernama saudagar Mangkubumi, Istri saudagar ini bernama Sitira. Anaknya seorang laki-laki bernama Empu jatmika kawin dengan Sira Manguntur, dan berputera dua orang yang bernama Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat.

Ketika kedua cucunya ini masih muda belia, saudagar Mangkubumi jatuh menderita sakit keras. Segala keluarga dan hamba sahaya dititahkan berjaga-jaga menjaga sisakit empat puluh hari empat puluh malah lamanya. Setelah ia merasa bahwa sa’at meninggalkan dunia yang fana ini telah hampir, maka dititahkannya supaya anak dan cucu-cucunya datang menghadap. Kepada anaknya ia beramanat  supaya menjaga sekalian keluarga dengan sebaik-baiknya. Jangan kikir, bersikap adil terhadap tiap-tiap orang, dan hendaklah meneriama dan mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan orang yang datang menghadap.

Selain daripada itu ia memerintahkan kelak sesudah ia meninggal dunia, supaya anakenda pergi keluar negeri, karena negeri keling terdapat orang iri dengki. Ia harus mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk menyatakan itu hendaklah ia mengali tanah pulau yang didatanginya diwaktu kira-kira tengah malam dan mengambinya sekepal. Jika telah berhasil menjumpai daerah yang tanahnya memenuhi syarat-syarat itu, hendaknya ia tinggal di sana.

Ditempat itulah ia mendapatkan rahmat bahagia raya. Tanam-tanaman akan hidup subur makmur, bebas dari pengaruh yang merugikan, sedang saudagar-saudagar akan datang berdangang, negara terhindar dari ganguan musuh. Jkia tanah itu harum tapi dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran itu hanya sekedarnya, baik dan buruknya adalah didalam keadaan seimbang. Jika tanah itu berbau busuk lagi dingin, maka niscaya negara itu senantiasa ditimpa marabahaya dan menderta kesukaran yang tidak putus-putusnya. Setelah ia bepesan demikian, maka saudagar Mangkubumi itupun menutup mata buat selama-lamanya. Sekalian keluarga berduka citadan meratapi dengan tagis kepedihan. Untuk mengikuti kebiasaan pada zaman dahulu, maka upacara penyelenggaraan mayat berlaku dengan disetai dengan pembagian beribu-ribu lembar pakaian dan berpuluh-puluh ribu real uang yang ditaburkan.

Mengingat pesan ayahnya, Empu Jatmika merasa setuju sekali meninggalkan negerinya, ia menitahkan datang menghadap Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa beserta kepala jawatan perdangan Wiramartas seorang ahli bahasa, Wiramartas faham bahasa arab, persi, melayu, belanda, tionghoa dan lain-lain dan ia menjadi kepala dari segala nahkoda-nahkoda.
Empu Jatmika menerangkan kepada meraka keputusan yang telah diambilnya dan memerintahkan supaya semua segera disiapkan agar dapat bertilak dengan segera. Tidak beberapa lama kemudian bertolaklah dari banua keling, armada yang berlayar dengan dipelopori oleh kapal si Prabayaksa. Didalam kapal pelopor ini menumpang Empu Jatmika. Setelah beberapa lama berlayar, armada berlabuh disebuah pulau. Ternyata pulau yang pertaman ini tidaklah bertanah panas dan berbau harum. Dengan sedikit agak kecewa perlayaran diteruskan. Armada berlabuh pula di laut Hujung Tanah. Sementara berlabuh disana, Empu Jatmika bermimpi serasa berjumpa dengan almarhum ayahhanda, yang berpesan supaya mendarat di Pulau Hujung Tanah, karena disinilah ia akan menjumpai apa yang dicari.

Pagi-pagi benar, pergilah Empu Jatmika dengan empat orang pengiringnya menuju ke pulau hujung tanah. Ia mengagali tanah disana, dan benarlah tanah disini hawanya panas laksana bara, harum sebagai daun pudak.

Dengan batu-batu yang dibawa dari keling, di mulailah membangun sebuah candi. Kemudian didirikan  pula sebuah istana lengkap dengan balairung, pengadapan dan perbendaharaan.

Didalam suatu upaca dibalairung, Empu Jatmika memberikan nama kepada negara baru itu : NEGARADIPA ia sendiri menjadi raja didaerah ini dengan bergelar Mahaja di Candi.

Pada ketika itu terdapat kepercayaan kepada pribahasa :
Siapa yang tidak berdarah bangsawan, tetapi oleh karena kekayaan dapat menjadi, ia akan ditimpa bencana. Demikian pula bencana itu akan menimpa mereka yang mengakui orang itu sebagai raja” Oleh karena itu Empu Jatmika menitahkan membikin patung dari kayu cendana. Patung ini dijadikan seolah-olah raja dan kepadanyalah seolah-olah kekuasan yang tertinggi.

Ahli-ahli tatah mengukir dua buah patung yang berwujud seorang laki-laki dan seorang perumpuan. Pantung-patung itu dihiasi dengan seindah-indahnya dan diungkup dengan dupa dan wangi-wangian dan diletakan di dalam sebuah candi. Tiap-tiap hari jum’at raja datang mengunjungi patung-patung itu.

Pada suatu ketika menitahkan supaya hulubalang Arya Megatsari dengan membawa tentara seribuorang menaklukan daerah batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pintap. Dengan kekuatan tentara yang sama berangkat pula Tumenggung Tatahjiwa ke daerah batang Alai,batang Hamandit dan labuan emas.

Kedua pengiriman tentara ini berhasil dan segala kepala-kepala rakyat daerah yang ditundukkan itu dibawa menghadap kehadapan raja. Mereka diwajibkan tunduk kepada perintah kedua hulubalang dan tiap-tiap musim harus mengatar upeti yang ditetapkan. Setelah dijamu secara mewah, segala kepala-kepala rakyat itu diperkenankan kembali ke daerah masing-masing dengan perjanjian selanjutnya tidak lagi akan bermusuhan antara sesamanya. Sesudah kepala-kepala daerah itu kembali kedaerah masing-masing maka raja mencurahkan perhatiannya kepada susunan istana.

Segala peraturan, susunan pegawai, upacara istana disesuaikan atau mecontoh tata-krama Majapahit. Apabila segala peraturan  telah tersusun dengan baik, Empu Jatmika mengirimkan armada kenegeri keling dibawah pimpinan  nahkoda Lampung guna menjemput keluarga dan harta benda beharga yang masih ketingalan. Di dalam perjalanan pulang armada ini dilanggar taupan. Kapal-kapal terserak kesana-kesini, sebagian hanyut ke laut kidul sehinga banyak anak buahnya yang tewas binasa. Sisa dari kapal-kapal itu datang di Negaradipa dengan selamat. Nahkoda-nahkoda mendapat hadiah yang sangat banyak, di antaara sebuah pedang yang indah permai.

Dalam suatu upacara yang dilakukan pada tiap-tiap hari sabtu, raja memberi tahukan kepada Arya Magatsari dan Tumenggung Tatahjiwa keinginnya hendak menganti patung-patung kayu yang lambat laun menjadi lapuk dengan patung dari pada gangsa.

Ketika raja mengetahui bahwa bangsa Tionghoa adalah bangsa yang pandai dan ahli didalam hal pembikinan patung gangsa, maka ia memutuskan mengutus Wiramartas menghadap raja tiongkok dengan membawa banyak membawa bingkisan dan kiriman yang beharga diantaranya terdapat sepuluh ekor orang hutan.

Dengan tidak mendapat kesukaan, utusan tiba di Tionghoa. Didalam sidang resmi Wiramartas mempersembahkan surar raja Negaradipa. Seorang pendita Tiongkok membacakan surat tersebut. Raja Tionkok menitahkan supaya memenuhi permintaan raja Negaradipa dan kemudian masuk kedalam istana.

Setelah musim yang baik tiba, berlayar pulanglah Wiramartas sedang empat puluh orang ahli patung dari raja Tiongkok ikut serta. Selain dari pada itu oleh raja Tiongkok dikirimkan pula beraneka warna bingikisan, seperti tikar permadani, kain sutera, barang pecah-belah dan sebagainya. Wiramartas sendiri mendapat hadiah pakaian yang indah-indah dan sebilah pedang Jepang. Setelah Wiramartas sampai di pangkalan Negaradipa, maka utusan ini disambut dengan mengadakan pelbagai perayaan. Di dalam sidang Wiramartas menyampaikan laporan dari perjalannya dan membacakan surat raja Tiongkok. Wiramartas dengan pengiring-pengiringnya diberi hadiah yang sangat banyak, ya’ni sebagai penghargaan atas jasanya yang telah menjalankan kewajiban dengan baik.

Kepada wargasari, bendahara raja deserahkan segala bingisan raja Tiongkok, sedang kepada Arya Megasari diperintahkan untuk menjaga ahli-ahli seni rupa bangsa Tionghoa itu.
Di dalam waktu yang singkat ahli-ahli bangsa Tionhoa itu selesai dengan kewajibannya. Dua patung gangsa yang merupakan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang besarnya sebasar anak kecil dipersembahkan kepada raja dan raja pembuatan mengagumi pembuatan ahli-ahli itu Raja menitahkan melempar patung-patung kayu ke laut dan menempatkan patung gangsa sebagai pengantinya di dalam candi. Empat  puluh orang pendita  di titahkan menjaga patung-patung itu dan di dalam waktu tertentu haruslah mereka membersihi mengosoknya dengan pasir halus. Agar patung itu jangan berkarat, kemudian di sapu dengan narawastu dan di asap dengan kemenyan. Tiap-tiap malam sabtu, haruslah pendita-pendita itu menaburi patung-patung itu dengan bunga melati, cempaka dan bunga pudak.

Di zaman itu Negaradipa termasyhur kemana-mana kesegala negara. Tata negara dan bentuk pemerintahan mengikuti contoh dari kerajaan Majapahit. Pakaian dan perhiasan pun meniru pula pakian dari kebiasaan di Jawa. Malah raja tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling atau Melayu, karena negaradipa adalah negara yang berdiri sendiri dan haruslah mengambil bentuk yang selaras dan pantas.

Bukankah ada peribahasa orang tua yang mengatakan jika rakyat dari suatu negara meniru pakaian dari negara lain, maka pastilah negara itu akan di langgar bencana, penyakit akan bercabul, peralihan musim lenyap, pemberontakan akan berkobar dan raja tidak akan di taati lagi.

Selanjutnya raja memperingatkan rakyatnya, jangan menanam lada untuk perdangangan sebagai di Palembang dan Jambi. Sebab di tempat tumbuhnya lada pasti kekurangan bahan makanan. Negara kan menderta kesukaran dan pemerintah akan runtuh. Jika orang ingin juga menanam lada, hendaknya jangan lebih dari empat atau lima rumpun, ya’ni sekedar cukup untuk keperluan sendiri.

Beberapa lama kemudian Empu Jatmika jatuh sakit keras. Banyak tabib yang didatangkan tetapi tiada berhasil. Siang dan malam banyak rakyat yang berjaga-jaga di sekitar istana. Akhirnya raja menitahkan supaya datang menghadap  kedua puteranya dan kedua Hulubalang Arya Megatsari Tumenggung Tatahjiwa. Dengan tegas memperingatkan supaya kedua puteranya janganlah meneriama kehormatan menjadi raja sebab bencana dan malapetaka senantiasa akan menimpa tiap-tiap orang yang menjadi raja, jika ia tidak turunan bangsawan. Ia sendiri meletakan kekuasaan tertinggi kepada patung-patung, karena khawatir ditimpa bahaya. Apabila ia mangkat, haruslah patung-patung itu di lemparkan di laut, sedang kepada putera-puteranya dititahkan mencari raja manusia dengan  jalan Empu Madastana haruslah bertapa di gunung didalam goa atau di pohon-pohon besar sedang Lembu Mangkurat haruslah bertapa dipusar air yang dalam. Sesudah memberi peringatan ini, maka rajapun mangkatlah. Pemakaman jenazah baginda di lakukan dengan upacara kebesaran. Kemudian oleh pendita-pendita dilakukan upacara membuang patung-patung ke laut.
Pada suatu malam Lembu Mangkurat didalam mimpi mendengar suara almarhum ayahandanya yang menganjurkan supayamembikin rakit dari empat belas batang pohon saba dengan berlangit-langit kain putih. Di empat penjuru digantung mayang mengurai. Lebu Mangkurat haruslah pula berpakaian dan berdester kain putih. Pada tengah malam sambil membakar dupa haruslah ia berhayut ke hilir dengan tidak menaruh gentar bila seandainya bertemu dengan buaya, ikan dan ular besar. Jika ia dengan rakitnya sampai di Lubuk Bergaja, maka rakit akan berputar di pusar air. Kalau pusar air ini menjadi tenang kembali, ia akan menampak  sebuah bauih raksasa, dan dari dalam buih ini akan terdengar suara perempuan yang berbicara kepadanya. Perempuan inilah yang akan menjadi raja puteri negara.

Pada ke esokan harinya maka lembu mangkurat pun berbuatlah seperti petunjuk yang di dapat dalam mimpi. Dengan rakit yang memenuhi syarat-syarat seperti yang di kehendaki , ia berhanyut ke hilir dengan tidak menaruh sedikit juapun walau sepanjang jalan bertemu dengan buaya, ikan dan ular-ular besar. Akhirnya ia menapak sebuah buih yang bercahaya-cahaya timbula di permukan air. Suatu suara yang lemah lembut dan merdu bertanya : “ Lembu Mangkurat, apakah yang engkau perbuat disini? “. Lembu Mangkurat pun menjawab : “Hamba mencari mencari seorang raja untuk memerintah di Negaradipa”. Suara itu kedengan lagi : “ Lembu Mangkurat aku adalah raja puteri , puteri junjung buih yang engkau cari “. Lembu Mangkurat berjanji mempersembahkan candi sebagai istana, tetapi puteri junjung buih menolak tinggal di istana, karena disitu pernah di letakan patung-patung yang di berhalakan. Ia meminta supaya membangun sebuah mahligai . Sebagai tiangnya harus di ambil empat pohon batung batulis dari gunung batu piring. Mahligai itu harus selesai di kerjakan di dalam satu hari. Selanjutnya empat puluh orang gadis haruslah pula menyelesaikan menenum selembar kain kuning yang panjangnya tujuh elo, lebar dua elo, yang akan di gunakan oleh tuan puteri sebagai selendang jika ia pergi ke mahligai.

Selah mengetahui hal ini semuanya, Lembu Mangkurat pun segera memberitahuakn peristiwa ini kepada paduka kakanda Empu Madastana. Rakyat di larang melayari sungai tersebut sebelum tuan puteri naik ke mahligai. Empat orang patih mendapat perintah untuk mengambil empat buah pohon batung batus. Dan benarlah pada hari itu juga selesailah laksana diciptakan mahligai yang di minta, sedang ke empat puluh orang gadis dapat memenuhi kewajiban yang dipikul kepada mereka mewujudkan selembar kain langundi.

Dengan upacara kebesaran berangkatlah Lembu Mangkurat menjemput teuan puteri dengan di iringi oleh empat puluh orang para gadis yang berpakaian kuning. Dengan hikmat kain kuning pun di persembahkan kepada Puteri Junjung Buih.

Bercahaya-cahaya, gilang-gemilang keluarlah tuan puteri dari buih, berpakain tapih dan berselendang kain kuning yang di bikin oleh para gadis. Dengan di iringi oleh rakyat, berangkatlah tuan puteri menuju mahligai. Hanyalah empat puluh orang gadis pengiring yang di perkenankan berdekatan di sekitar tuan puteri. Demikianlah maka puteri junjung buih pun menjadi raja di Negaradipa. Di dalam pelaksanaannya pemerintahan diserahkan sama sekali kepada kebijaksaan Lembu Mangkurat, walau ia saudara muda dari Empu Madastana. Dan ia pulalah pada umumnya yang memberikan keputusan-keputusan yang penting-penting di dalam soal yang bertalian dengan negara.

Pada suatu hari Lembu Mangkurat berdatang sembah kepada raja puteri, dengan membanyangkan apakah raja puteri tidak memilih seorang suami. Dengan tegas raja puteri menjawab bahwa ia akan kawin dengan seorang laki-laki  yang di peroleh dengan ciptaan karena bertapa.Jawaban ini menerbitkan kesukaran yang tidak mudah di pecahkan dan dengan agak kemalu-maluan Lembu Mangkurat bermohon pulang.

Adapun Empu Madastana berputera dua orang yang kecantikannya laksana pinang di belah dua, seorang bergelar Bangbang Sukmaraga dan seorang lagi bergelar Bangbang patmaraga. Tiap-tiap hari kedua pemuda yang masih kanak-kanak, muda belia ini bermain-main di sekitar di bawah mahligai raja puteri. Banyak para gadis-gadis yang jatuh cinta asmara kepada kedua pemuda ini. Merka menjalin pantun dan mengubah seloka untuk menyatakan kerinduannya.

Ketika Raja puteri menampak kedua pemuda itu, maka maklumlah raja puteri bahwa meraka putera-putera Empu Madastana. Sekedar untuk memberi hadiah atas tanda kebangsawanan hatinya. Maka raja puteri menjatuhkan untuk masing-masing sekapur sirih dan sekaki bunga nagasari, bunga yang pada ketika itu belum tumbuh di negaradipa. Tapi malang, tepat ketika itu Lembu Mangkurat liwat di sana. Dengan gusar dan cemburu di tanyai apakah yang meraka perbuat di sekitar mahligai itu. Selanjutnya ia melarang kepada Bangbang Sukmaraga dan Bangbang patmaraga datang di dekat kediaman raja puteri.

Lembu Mangkurat berpendapat tentu raja puteri ingin hendak bersuamikan salah seorang dari keponakannya sehingga jika terjadi yang demikan maka ia sebagai paman haruslah menyembah anak keponakan sendiri. Akhirnya ia mengambil keputusan akan menyingkirkan kedua pemuda itu.

Dengan alasan bersama-sama akan mencari ikan, ia mengundang Bangbang Sukmaraga dan Bangbang patmaraga  ke hulu sungai, walau mereka menduga  ada udang di balik batu, ya’ni  pamannya pasti ada berniat jahat terhadap mereka, namun mereka memutuskan juga untuk memenuhi undangan pamannya. Dengan cara yang sangat mengiba hati, ia bermohon dan menyatakan selamat berpisah kepada ayah dan bundanya.

Bangbang sukmaraga menanam sepohon bunga melati disebelah kanan pintu rumahnya, sedang Bangbang patmaraga menanam sephon bunga merah di samping sebelah kiri, seraya berkata “ Jika daun-daun pohon ini rontok, maka itulah tandanya kami mati di bunuh oleh paman Lembu Mangkurat ” . Dengan berbaju putih mereka pergi ke perahu, sedang Lembu Mangkurat telah datang terlebih dahulu menunggu. Mereka berdayung bersama-sama ke hulu sampai di Batang Tabalong, di sini mereka di bunuh.

Lembu Mangkurat keheran-heranan setelah mengetahui bahwa mayat-mayat Bangbang Sukmaraga dan Bangbang patmaraga hilang lenyap seketika itu juga. Tempat pembunuhan ini sampai sekarang masih bernama Lubuk Badangsanak.

Sedang Empu Mandastana dengan istrinya di dalam keadaan cemas dan khawatir, tiba-tiba datanglah sejoli burung merak terbang melayang. Yang jantan hinggap di asuhan Empu Mandastana , sedang betina hinggap di asuhan sang isteri. Maklum akan tanda-tanda firasat ini, berdebar-debar hati Empu Mandastana suami isteri, dan seras-rasa tahulah ia suadah bahwa putera-putera telah mati terbunuh. Dengan serempak mereka berdiri menengok pohon-pohon melati yang di tanam oleh putera-puteranya. Dengan air mata belinang-linang, mereka menyasikan daun-daun pohon itu helai demi sehelai rontok bertaburan. Segera mereka mengambil keputusan untuk mengikuti nasib putera-puteranya. Tiba di candi maka Empu Mandastan menikam dirinya dengan keris Parang Sari, keris bikin Majapahit sedang isterinya menikam diri dengan sebuah keris keling yang bernama Lading Malela.

Beberapa hari kemudian, barulah Lembu Mangkurat mengetahui kelenyapan kakandanya. Ia menanyakan kepada segala pengiring dimanakah mereka paling akhir menampaknya. Tetapi walaupun sudah di selidiki dengan seksama, seorang pun tidak menjumpai Empu Madastan dan isterinya. Sambil menduga apa mungkin terjadi, Lembu Mangkurat pergi menuju candi.

Disini ia menjumpai ke dua badan yang telah menjadi mayat terhampar, membujur laksana tidur , sedangkan keris terletak di samping-masing. Di sekelingnya tampak banyak burung yang jatuh mati bergelimpangan karena melangkahi kedua mayat itu. Lembu Mangkurat  memerintahkan pengiring-pengiringnya melemparkan kedalam laut kedua mayat dan tanah tempat mayat itu berbaring. Di tempat itu kemudian terdapatlah sebuah telaga yang sampai sekarang dinamai Telaga Raha. Konon, jika ada seseorang yang dianggap bersalah dan di bunuh, maka kelihatan air telaga raha selama dua puluh empat jam bewarna kemerah-merahan. Demikian pula halnya dengan sungai berhulu dari gunung batu piring, gunung tempat mengambil batung batulis guna tiang mahligai puteri jijing buih. Samapai sekarang sungai ini masih terkenal dengan nama sunagai darah.

Pada suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahhanda menceritakan bahwa raja majapahit dengan bertapa mendapat seorang putera yang layak menjadi suami raja puteri junjung buih. Menurut certa itu, raja majapahit lama sekali ingin mempunyai putera. Di dalam mimpi, Baginda mendapat nasehat dari seorang tua supaya bertapa di gunung di daerah majapahit dan kelak bidadari dari matahariakan memberikan baginda seorang putera yang terbungkus dengan selaput tipis, sehingga ia di timpa penyakit kusta. Jika baginda memelihara anak ini dengan sebaik-baiknya, maka kekuasaan dan kemasyurannya akan bertambah meluas. Tetapi sekali-kali janganlah selaput yang membungkus anak itu di buang, karena apabila di lakukan demikian, maka kutuk dan bencana juga yang akan menimpa baginda. Lain dari pada itusebagai tanda rahnat kebahagiaan akan terlahir lagi enam orang anak. Pada ke esokan harinya raja majapahit berangkatlah bertapa ke gunung.

Sesudah bertapa empat hari lamanya, baginda pun benar-benar mendapat karunia seorang putera yang bergelar Raden putera. Baginda kembali ke istana. Sesedah berapa lamanya benarlah lahir enama orang anak , tiga orang putera dan tiga orang puteri. Kekuasan raja majapahit sehari-hari selalu bertambah-tambah dan banyak raja-raja yang tunduk kepadanya ya’ni dari seluruh jawa, bantam, jambi, palembang, makassar, pahang, petani bali dan sampai pula ke minangkabau. Demikianlah bunyi cerita yang di sampaikan oleh almarhum ayahhanda di dalam mimpi Lembu Mangkurat. Yakin bahwa mimpinya berdasarkan atas kemungkinan kebenaran, Lembu Mangkurat pun menitahkan dengan segera menyiapkan kapal si Prabayaksa dan kapal-kapal lainnya.

Selain daripada Wiramartas, yang menjabat menteri perdangan dan pelayaran, ikut pula serta empat orang patih, ia adalah patih Pasi, patih Baras, patih Luhu. Pun sepuluh orang nahkoda dan puspawana,, menteri pembelaan, wangsanalo, menteri saragen turut ikut be.serta . Rombongan ini bertolak dari Negaradipa dengan langsung di bawah pimpinan Lembu Mangkurat sendiri.

Tidak beberapa lama kemudian sampailah mereka di pangkalan Majapahit. Apabila menteri bandar (pangkalan) menerima kabar tersebut, maka iapun pergi ke pangkalan untuk menyaksikan sendiri orang asing manakah yang datang itu. Bertapa terkujut ketika melihat begitu banyak-kapal yang berlabuh, sehingga terkeluar dari mulutnya : “ Selama orang-orang asing datang asing datang kesini, belum pernah seperti ini “ . Utusan yang dikirimnya segera kembali dengan membawa kabar, bahwa orang-orang asing itu adalah dari Negaradipa dibawah pimpinan Lembu Mangkurat dengan maksud hendak menjumpai raja Majapahit.

Dengan segera menteri bandar pergi ke majapahit dan menyampaikan laporan kepada Gajah Mada. Dan kemudian Gajah Mada menyampaikan peristiwa ini kepada raja.

Berita kedatangan Lembu Mangkurat ini Menimbulkan Khawatiran raja majapahit, raja tidak menaruh gentar kepada raja asing manapun. Ia mempersilahkan Lembu Mangkurat untuk menghadap. Dengan pakain kebesaran yang gemerlapan berangkat lembu mangkurat mengendarai kuda putih diapit oleh tentara yang bersenjata pedang, perisai, lembing, dan sebagainya. Patih-patih, menteri-menteri, dan nahkoda-nakoda berbaris pula mengikuti dengan pakain kebesaran yang indah-indah. Paling belakang terdapat barisan dari lama ratus orang tentara yang berjalan kaki dan lima ratus orang yang mengendarai kuda. Arak-arakan seindah itu belum pernah terlihat di Majapahit.

Sesudah tiga hari, barisan pun  sampailah didalam kota.  Di Sitilur telah menunggu berkumpul Gajah Mada, Arya Dilah, Arya jamba, Rangga Lawe, Arya Sinom, Kuda Pikatan, Hajaran Panolih dan Dipati Lompur. Sejurus kemudian maka terdengarlah bunyi dentuman yang memberikan tanda bahwa raja akan keluar dari istana. Dengan di iringi bunyi gemelan, raja berjalan keluar. Di panggungan terdengar gamelan membunyikan lagu lokanata, sedang di paseban terdengar di bunyikan lagu galaganjur. Beberapa rombongan, masing-masing terdiri dari empat puluh orang, datang berbaris dengan memakai yang sama dan indah. Kemudian raja duduk di Sitiluhur, sedang sebagai penjaga di tempatkan berkeliling empat ratus orang Singanegara (polisi). Di hadapan raja duduk pula dua ratus orang wanita dengan memakai sarung yang bewarna ke emas-emasan. Mereka di wajibakan membawa tikar dan menjaga tikar, kendi emas, kendaga, alat merokok dan sebagainya.

Lembu Mangkurat di perilahkan masuk di Rancak suci. Dengan tidak mengaturkan sembah ia duduk, sedang ke empat patih duduk di belakang. Raja da pegawai istana agak terkejut melihat sikap ini.

Kemudian Gajah Mada menanyakan maksud kedatangannya, “ Kami datang untuk menghadap raja Majapahit “ , jawab Lembu Mangkurat. Dengan agak malu dan suara yang agak gemetar, raja bersabda : “ Paman Lembu Mangkurat, apa gerangan yang di inginkan paman dari kami? “ , sekaranglah Lembu Mangkurat menyampaikan permintaannya, ya’ni seboleh-boleh di perkenankan membawa paduka anakda ke Negaradipa untuk di kawinkan dengan raja puteri. Sambil menyampaikan permintaan ini, ia menyampaikan bingkisan-bikisan yang beharga. Raja majapahit menerangkan, bahwa bahwa baginda tidak mempunyai anak lagi, karena tiga orang putera baginda telah kawin dan berada di Palembang, Bali, dan Surabaya, sedang tiga orang puteri baginda lagi telah kawin dan sekarang di Manangkabau, Bantam dan Makassar.

Disini Lembu Mangkurat menerangkan, bahwa ia hanya menghendaki putera raja yang di perolah dari bertapa. Akhirnya raja berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh hari. Baginda memperingatkan kepada Lembu mangkurat jangan menyesal karena anak itu tidaklah sempurna tubuhnya. Susudah Baginda memerintahkan kepada Gajah Mada supaya menjamu Lembu Mangkurat beserta pengiring, maka masuklah Raja kedalam istana dengan diiringi bunyi gamelan dan runtunan dentum senapan.

Tujuh hari tujuh malam terus menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti rakit, topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang orang, wayang gedok, dan sebagainya. Pun diadakan pula pertandingan keprajuritan (sasabton).


Setelah sampai ketikanya, benarlah raja dengan iklas menyerahkan putera baginda Raden putera. Banyak hadiah yang di bawa di antaranya dua payung besar, dua bedil cocorong, keris jaka Piturun, gamelan Si rarasanti, babende Si Macan dan pepatuk Si Mundarang.

Raden Putera diusung didalam usungan dibawa menuju kepelabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan di dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Ditempat ini angin tiba-tiba berhenti bertiup, teduh dan laut menjadi tenang Adapun juga yang di perbuat, kapal yang di tumpangi oleh Raden Putera tidak juga bergerak. Semua berputus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putera, bahwa beberapa naga putih, rakyat dari puteri Junjung Buih melekat dan menahan kapal. Raden Putera menerangkan bahwa ia bersiap terjun ke dalam laut untuk mengusirnya. Sekarang dengan ikhlas Lembu Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putera, dan Lembu Mangkurat yang menghadap Raja Majapahit tidak mewujudkan kegentarannya, kini menganturkan sembah kepada Raden Putera.

Raden Putera meminta supaya menunggu tiga hari kepadanya. Jika ia sesudah tiga hari belum timbul juga, maka haruslah dilakukan puja bantan, karena dengan berbuat demikian tentu ia akan segera timbul kembali.


Dengan berpakain kuning, Raden Putera terjun kedalam laut dan ketika itu juga kapal Prabayaksa dapat bergerak yang menerbitkan perasaan suka cita kepada sekalian anak buah kapal. Dengan hati yang berdebar-debar ditunggu sampai tiga hari lamanya. Tetapi setelah tiga hari Raden Putera tidak timbul juga, maka Wiramartas pun diutus lebih dulu untuk mengambil kerbau, kambing dan ayam ke Negaradipa. Juga ia mewajibkan membawa menteri-menteri untuk menyosong dan menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit.

Setelah Wiramartas datang di Negaradipa membawa berita, maka arya Megatsari dan tumenggung Tatahjiwa pun memerintahkan menteri-menteri berlayar ke Pendamaran. Sesudah memuja dan membantan tujuh hari tujuh malam lamanya, maka tampaklah dengan tiba-tiba raden Putera dipermukaan air dengan seri yang bercahaya-cahaya memakai tapaih sutera kuning yang indah., menajubkan, sedang raden putera berijak diatas sebuah gong besar. setelah Raden Putera naik kapal, Lembu Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah dan oleh karena itu gong agung itu sampai sekarang tetap terkenal dengan nama Si Rambut Paradah.


Raden Putera selanjutnya bergelar Suryanata (Surya=matahari, Nata=raja).


Temapat berhenti dan memuja di Pendamaran ini sampai sekarang ini dinamai Perbantanan.


Pelayaran di teruskan menuju ke Negaradipa, Suryanata tinggal di istana yang di diami oleh Empu jatmika. Dari daerah Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan Pitap, Baijau Besar, Biajau kecil, Sebagau, Sampit, dan Pembuang, datangkah rakyat berduyun-duyun menyampaikan penghormatan kepada Suryanata.


Empat puluh hari empat puluh malam diadakan peryaan dan pertunjukan wayang,topeng, rakit, joget, beksa berganti-ganti. pada tengah malam pemuda-pemuda, putera-putera pembesar kerajaan mendirikan padudusan ( tempat upacara mandi), sedang orang yang disebut "kandang haji" diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, panggungan, Sitiluhur dan paseban di hiasi dengan seindah-indahnya. Dari segala pelosok mengalirlah penonton yang hendak menyaksikan upacara itu sambil melihat bendera-bendera, panji-panji, lembing, senapan dan meriam.


Pada hari upacara pendudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawainan, demikian pula halnya dengan puteri junjung buih. Puteri jinjing Buih berpakaian dengan cuma boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita pembesar istana, sebagai tapih dipakaian kain yang dipakai ketika timbul dari air. Puteri junjung buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis-gadis jelita yang sama memakai baju sutera kuning , sedang pengiring Suryanata terdiri dari anak-anak menteri-menteri yang di wajibkan antara lain-lain membawa alat merokok, alat menginang, tikar dan sekitarnya.

Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki, di bungkus dengan kain sutera kuning.

Setelah Suryanata selesai berpakaian , iapun melangkar keluar, tetapi pada ketika itu dengan tiba-tiba terdengarlah suara: "Oh Raden Suryanata, jangan turun sebelum memakai mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi raja lebih besar dari pada raja-raja dibawah angin". Selanjutnya suara gaib ajab itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian yaitu dapat menjadi lebih berat atau lebih ringan, menjdai lebih besar atau kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, ia dapat menjadi raja. Dengan sangat hikmad Raden Suryanta mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yang dibikin  oleh para gadis disambutlah mahkota itu dan diletakkan di kepala.

Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.

Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.


Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan  sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban. 


Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.


Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.


Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.


Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.


Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan  sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban. 


Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.


Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.


Raden Suryanata duduk didalam usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan bunyi runtunan dentuman senaapan serta tempik sorak, usungan pun dibaawa menuju mahligai mempelai perempuan. Sampai disini , Puteri Junjung Buih dijemput dan perarakan terus menuju kepedudusan. Kedua mempelai mempelai turun dari usungan dan duduk diatas empat kepala kerbau dan kemudian naik dipanggung yang didirikan untuk upacara itu di balai Patani.


Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara dan penghulu dari bujangga-bujangga dipadususan. Dengan hormat dan hikmat Lembu Mangkurat mempelopori menyiramkan air mandi diatas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perempuan. Sesudah itu menyusul Arya Megasari, Tumenggung Tatahjiwa dan penghulu tertinggi dari pujangga-pujangga , yang melakukan sambil mengucapkan metera dan do'a selamat. Apabila sudah selesai dengan upacara itu, maka ditaburkan beras kuning dan mata uang beratus-ratus ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan runtutun dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.


Akhirnya kedua mempelai dibawa pulang kembali ke istana. Disini kedua penganten makan bersama-sama nasi adap-adap, sedang menteri-menteri pun mendapat bahagiannya pula. Sesudah berjalan tiga hari tiga malam, maka barulah mempelai kedua berkumpul pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian yang mengirangkan ini, gong Si Rambut Paradah dipalu, parancakan Si Raraswati dibunyikan dan senapan-sepan ditembakkan berdentum-dentum, kebiasaan seperti ini masih dilakukan  sampai dewasa ini pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Perayaan diteruskan masih tujuh hari tujuh malam bertempat dipaseban. 


Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, beksa dan pertandingan kecakapan bermain senjata.


Keempat puluh orang dara (gadis) mendapat kewajiban masin-masing, diantaranya menjadi parakan , panjogetan dan penjaga tempat tidur, makan, minuman, sirih pinang, alat-alat perhiasan dan lain-lain.



Penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih piring, alat-alat perhiasan dan lain-lain.

Tiap-tiap hari sabtu, Raja memberikan kesempatan menghadap dengan bertempat di Sitilihur.

Tidak beberapa lama kemudian, Pemaisuri pun hamil, karena pemaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka di kirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambil buah yang di hasratkan itu. Sebagai sekedar bikisan bagi raja Majapahit dikirim lilin, damar, rotan, tikar, dan dua buah intan yang besar. Kapal berlayar di bawah pimpinan nahkoda Lampung yang segera sampai di Majapahit.

Dengan perantaraan Gajah Mada ia menghadap kehadapan raja. Raja sangat girang setelah mendengar berita yang mengembirakan itu dan segera memerintahkan menyerahkan buah-buah yang di ingini dengan di taruh di dalam kotak mas.

Nahkoda Lampung segera bermohon pulang dan berlayarkembali dengan membawa pula hadiah-hadiah berupa beras, gula, minyak nyiur, bawang, asam kamal, rempah-rempah dan kain-kain batik yang indah.

Datang di Negaradipa, ia di anugerahi pula oleh maharaja suryanata karena telah berhasil manjalankan perintah yang di titahkan kepadanya.

Setelah cukup bulan dan harinya, pemaisuri melahirkan seorang putera yang diberi nama Raden suryaganggawangsa. Peristiwa ini di rayakan dengan membunyikan Si Rambut Paradah, gamelan si Raraswati dan senapan. Adat ini masih di indahkan  pada tiap-tiap lahirnya anak-anak raja.
Kemudian pemaisuri melahirkan lagi seorang putera yang dinamai Suryawangsa.

Di zaman itu yang takluk kepada maharaja suryanata adalah Raja-raja Sukadana, Sanggau dan Sambas, kepala-kepala daerah batang Lawai dan Kotawaringgin. Pun raja-raja pasir, kutai, Karesikan dan Berau tunduk pula kepada Negaradipa. Bahkan raja Majapahit yang besar kekuasaannya itu menghormati kepada Maharaja Suryanata dengan mangkubuminya Lembu Mangkurat termasyur kegagah-perwiraannya.

Pada suatu hari raja mengadakan pesta untuk segala pungawa-pungawa. Ramai orang bersuka ria dengan senda gurau dan beraneka permain. Tetapi dengan sekonyong-konyong raja mengabarkan berita yang mengejutkan mereka sekalian bahwa raja dan pemaisuri akan kembali ke asal.

Oleh karena itu, kedua putera di percayakan di bawah bimbingan Lembu Mangkurat. Rakyat di peringatkan adat dan susunan pemerintahan hendaklah menurut di jawa sebab tidak ada satu daerah dibawah angin yang akan menyaingi jawa. Jadi janganlah menyimpang  adat  Majapahit. Selanjutnya raja mengulangi peringatan raja terdahulu yaitu  janganlah menanam lada  untuk berdagang karena itu berarti membawa runtuh negara. Pun janganlah sekali menangkap orang-orang yang celaka oleh kekaraman kapal.

Setelah mengucapkan amat dan pesan itu, dengan tiba-tiba gaiblah raja dan pemaisuri dari pandangan. Rakyat yang menyaksikan merasa heran dan takjub. Seluruh negara di dalam kesedihan dan berkabung.

Sebagai ganti mahaja Suryanata, di nobatkan  Raden Suryaganggawangsa di padudusan dan disinilah raja memakai mahkota yang datang dari langit.

Setelah Raden Suryaganggawangsa, di nobatkan mulai memerintah, maka raja pun memperkenankan pulang segala gadis yang menjadi parakan maharaja Suryanata. Raja memberi hadiah berupa pakaian dan alat-alat perkakas rumah. Kepada yang suka kawin, dikawinkan. Sebagai juga maharaja suryanata, pun maharaja surya ganggawangsa memberikan kesempatan untuk menghadap pada tiap-tiap sabtu dengan bertempat di Sitiluhur. Lembu Mangkurat diangkat menjadi mangkubumi, sedangkan Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa adalah sebagai penganan dan pengiwa (pengapit sebelah kanan dan pengapit sebelah kiri). Dibawahnya sebagai jaksa terdapat Patih Baras, Patih Pasi, Patih Luhur, dan Patih Dulu. Kemudian empat orang menteri Bumi ialah  Sang Panimba Sagara, Sang Pangruntun Manau, Sang Pambalah Batang, dan Sang Jampang Sasak, yang mempunyai pula kekuasaan memerintah atas empat puluh orang menteri sikap. Juga saudara raja Pangeran Suryawangsa yang mendapat gelar Dipati mempunyai pula seribu orang pengiring, yang senantiasa siap sedia meneriama perintah Mangkubumi.

Karena raja belum juga mempunyai pemaisuri, maka Lembu Mengkurat selalu mendorong, tetapi segala dorongan dan anjuran itu tidak berhasil. Tetapi pada suatu hari raja berkata bahwa ia mendengar suara dari paduka ayahanda yang telah gaib, menyatakan bahwa raja harus kawin dengan anak dayang Diparaja. Lembu Mangkurat merasa malu dan khawatir, karena dimanakah harus mencari pemaisuri yang dimaksud itu. Pun Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa tidak dapat pula memberikan keputusan. Oleh karena itu maka di cobalah mengirim utusan kesegala pelosok, tetapi kebanyakan kembali dengan tangan hampa.

Pada suatu hari Singabana (rombongan polisi) yang di dalam perjalanan memudiki sungai-sungai di Tangga Hulin, di pangkalan Arya Malingkan. Di sini mereka menjumpai gadis yang sedang mandi dibawah penilikan seorang pengasuhnya. Ketika ia melihat kedatangan Singabana, terkejut dan berteriak : “ He, dayang Diparaja, lekas!  Itu datang Singabana” . Apabila Singabana mendengar nama ini, maka mereka segera berdayung pulang kembali untuk memberi kabar kepada Lembu Mangkurat.

Singantaka dan singapati, keduanya menteri dari barisan Singabana mendapat perintah untuk meminta kepada Arya Malingkan anaknya guna di jadikan permaisuri raja. Mereka berangkat dengan empat puluh perempuan yang akan menjadi pengiring menuju ke Tangga Hulin.

Arya Malingkan ternyata tidak sudi menyerahkan anaknya walaupun sudah di jamin  bahwa anaknya akan di jadikan permaisuri,  dan bukanlah untuk di jadikan parakan, panjogetan atau gundik.
Dia tetap berkeras dan menolak. Utusan terpaksa pulang kembali dengan tangan kosong.

Apabila Lembu Mangkurat mendengar bahwa permintaannya ditolak,  maka ia pun murkaa dan mengambil keputusan akan pergi sendiri ke Tangga Hulin. Lembu Mangkurat berangkat dengan perahu  yang memakai kebesaran dengan di iringi oleh pungawa-pungawanya. Ia sampai di Tangga Hulin, ketika orang-orang melihat kedatangan Lembu Mangkurat, maka banyaklah orang merasa khawatir dan ketakutan laksana ayam melihat burung elang.

Arya Malingkan datang dengan segera mengelu-elukan dan mempersilahkan Lembu Mangkurat untuk masuk kedalam rumah. Dengan gusar dan berang Lembu Mangkurat menjawab, bahwa ia hanya ingin mendapat keputusan satu hal apakah Arya Malingkan suka menyerahkan anaknya atau tidak. Sekedar untuk mengertak, Lembu Mangkurat menikam tangannya dengan pedang. Arya Malingkan terkejut melihat bahwa Lembu Mangkurat sama sekali tidak luka dimakan senjata dan agak ketakutan ia memerintahkan dengan segera menyuruh menjemput anaknya. Lembu Mangkurat pergi kembali dengan segera bersama gadis tersebut untuk menghadap raja.

Tetapi kemudian raja ternyata raja tidak ingin kawin dayang Diparaja karena yang di ingini ialah anak dari Dayang  Diparaja. Sekarang timbul kesukaran yang harus di pecahkan siapakah yang harus mengawini gadis tersebut. Akhirnya semua berpendapat dan seia sekata bahwa hanyalah Lembu Mangkurat yang pantas dan tepat. Perkawinan segera di lakukan  dan perkawinan ini di rayakan tujuh hari tujuh malam lamanya.

Tidak berapa lama kemudian Dayang Diparaja hamil. Walaupun cukup bulan dan harinya, ia belum juga melahirkan. Barulah sesudah lima belas bulan terasa sakit hendak beranak, sakit yang di derita sudah tiga hari tiga malam. Dengan bermacam-macam cara dan syarat di coba menjauhkan segala pengaruh jahat, tapi semua sia-sia belaka, bahkan Lembu Mangkurat sendiri  telah berputus asa. Tiba-tiba dari asuhan si ibu yang sakit mendengar suara : “ Oh ayahanda Lembu Mangkurat, tidaklah melalui jalan yang tidak bersih anakda akan lahir, tapi anakda hendak keluar dari sisi kiri ibunda, bedahlah dan perbuatlah ini untuk anakda”. Sejurus lamanya Lembu Mangkurat di dalam kebimbangan. Tetapi kemudian ternyata kewajiban untuk mempersembahkan kepada raja seorang permaisuri adalah kewajiban yang terlebih berat. Lembu Mangkurat sisi kiri Dayang Diparaja yang segera meninggal sesudah beramanat supaya menjaga baik-baik anaknya. Seorang anak yang cantik lahir dengan perhiasan yang biasanya dipakai oleh gadis-gadis. Lembu Mangkurat memberikan perintah supaya menyusui anaknya  yang di beri nama puteri Huripan. Telah tiga hari puteri Huripan tidak mau menyusu. Akhirnya ia sendiri menerangkan bahwa ia hanya akan suka meminum susu kerbau putih. Lembu Mangkurat menitahkan dengan segera memenuhi permintaanya. Maka sejak itulah pamali (dilarang) bagi turunannya memakan daging kerbau putih. Ketika Arya Malingkan dan isterinya medengar berita kematian anaknya, maka mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak anaknya. Sebelumnya ia meninggal dunia, ia memamah sepah dari pinang muda, sedang isterinya memamah sepah pinag tua. Ia memerintahkan pesuruhnya untuk menanam sepah itu di dalam tanah. Dari padanya kemudian tumbuh jaringau dan perawas yang akan berguna buat obat cucunya puteri Huripan. Inilah asalnya jaringau dan pewaras mula-mula tubuh di Tangga Hulin yang sejak itu disebut Huripan.

Apabila puteri Huripan sudah akil baliq, maka ia pun di persembahkan kepada raja. Dengan segala upacara kebesaran perkawinan di rayakan. Sebagai lazimnya, kedua mempelai di mandikan di padudusan  dan kemudian di arak kembali ke istana. Beberapa lama kemudian, maka pemaisuri pu melahirkan seorang puteri yang di namai puteri Kalarang sari. Setelah puteri ini dewasa, maka ia di kawinkan dengan saudara raja Pangeran Suryawangsa, karena hanya pangeran Suryawangsa sajalah yang layak baginya. Puteri Kalarang sari melahirkan seorang putera yang di beri nama Raden Calang Lalen. Raja juga masih mendapat karunia puteri yang di namai Puteri Kalungsu. Atas keinginan raja,  kedua anak ini yaitu Raden Calang Lalen dan puteri Kalungsu di kawinkan. Pada kira-kira waktu inilah Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa meninggal.

Pada suatu waktu ketika segala keluarga dan semua pegawai istana sedang berkumpul dan bersenang-senang, maka Maharaja suryaganggawangsa dan puteri Huripan menerangkan bahwa mereka akan kembali ke asal. Kepada Lembu Mangkurat di amanatkan supaya menjaga Calang Lalen dan puteri Kalungsu dan hendaklah mengajar mereka menurut adat turun-temurun dari raja-raja.

Lembu Mangkurat mencoba supaya raja dengan permaisuri memalingkan pikiran agar menunda kembali ke asal., tetapi sebelum itu, keduanya telah gaib dari pandangan mata sekalian semua yang hadir.

Atas perintah Lembu Mangkurat maka di bangunkan sebuah mahligai padudusan. Dengan di sertai penembakan meriam dan gemelan, Raden Calang Lalen dan Puteri Kalungsu dimandikan dengan segala upacara dan kemudia raja baru itupun meletakan mahkota di kepala.

Di dalam tata negara tidak ada dibawa perubahan. Keturunan menteri di jadikan menteri, keturunan bendahara di jadikan bendahara dan demikian pula halnya dengan pegawai lainnya. Tiap-tiap hari sabtu tetap di adakan  kesempatan untuk menghadap.

Permaisuri melahirkan seorang putera yang di namai Sekar Sungsang. Ketika putera raja ini baru berumur enam tahun, raja menerangkan kembali ke asal dan menyerahkan pemerintahan kepada Lembu Mangkurat sementara raja putera masih belum dewasa. Kemudian rajapun lenyap dari pandangan mata yang menerbitkan kesedihan kepada seluruh isi istana dan rakyat sekalian. Tidaklah lama  sesudah itu, pada suatu waktu puteri Kalungsu membuat juadah. Sekar Sungsang yang masih muda belia itu kadang-kadang mendekati ibunya, berulang-ulang untuk meminta suap. Karena juadah itu belum masak, ibunya menyuruh ia supaya pergi dulu. Tetapi akhirnya sekar sungsang tidak dapat menahan nafsu seleranya dan mengambil sejilatan. Melihat hal ini ibunya menjadi gusar dan memukul sebuah sendok di kepalanya. Dengan kepala bercucuran darah, anak ini lari, makin lama makin jauh sehingga dengan tidak setahu siapa pun jua ia di lihat oleh seorang pedagang dari surabaya bersama juragan Balaba yang datang ke Negaradipa untuk berniaga. Ia menaruh belas kasihan dan membawa anak itu ke kapalnya . Juragan Balaba pada ketika itu telah menduga bahwa anak itu tidaklah anak biasa saja, karena dari tubuhnya keluar cahaya yang bersinar. Karena segala anak buah kapal  ingin segera berangkat, maka juragan Balada pun mengambil keputusan akan segera berlayar dengan membawa Raden sekar sungsang.

Adapun permaisuri memerintahkan mencari anaknya ke segala pelosok, tetapi buahnya sia-sia belaka. Benar ada beberapa orang yang menerangkan, bahwa mereka melihat sebuah kapal berlayar dengan membawa seorang anak, tetapi mereka tidak dapat mengatakan apakah anak itu raden sekar sungsang yang di cari. Walaupun demikian kapal itu dikejar juga sampai di muara sungai, tetapi rupaya kapal itu telah berlayar ke laut terbuka. Lembu Mangkurat menitahkan menyiapkan empat buah kapal untuk pergi keseberang lautan. Kapal-kapal itu sampai di surabaya. Di sini diadakan penyelidikan penyelidikan di mana-mana, tetapi ternyata seorangpun tidak dapat memberikan keterangan. Penyelidikan dilakukan sampai ke gersik, tetapi buahnya juga tidak ada. Tiap-tiap musim, Lembu Mangkurat mengirim penyelidik-penyelidik, tetapi jejak anak itu tidak juga di peroleh. Raden sekar Sungsang yang sementara itu bergelar Ki Mas Lelana, telah di pandang oleh juragan Balaba dan isterinya sebagai anak kadungnya sendiri. Ayah dan bundanya ini ingin supaya ia beristeri, tetapi Ki Mas Lelana sendiri belum mempunyai keinginan beristeri, tetapi Ki Mas Lelana tetap tinggal di surabaya. Pada suatu hari ia menerangkan cita-ciatanya hendak pergi ke Negaradipa bersama-sama dengan juragan Dampu Awang untuk berniaga. Mula-mula ibu angkatnya menahan dia, tatapi karena Ki Mas Lelana sudah tetap hati hendak menjalankan cita-citanya, maka dengan sedih ia memberikan alat-alat dan bekal untuk berangkat. Dengan segera mereka berlayar mengarungi lautan. Apabila sampai di Negaradipa maka Dampu Awang sesudah membayar bea, lalu membeli lim ikan, damar, lilin, topi, tikar, emas, real, ayam sambungan dan tenggalung. Juga Ki Mas Lelana menawarkan barangnya : gula kelapa, minyak nyiur, asam, bawang, beras, sagu, kain batik, ikat pingang, kopiah dan alat-alat wayang dan topeng. Lembu Mangurat menerima ini semuanya dan ia mengharapkan supaya Ki Mas Lelana tinggal di Negaradipa sampai di musim yang akan datang dan ia menyerahkan sebuah rumah dengan pekarangannya. Juragan Dampu Awang mendapat perintah supaya memberi tahukan hali ini kepada ibu angkat Ki Mas Lelana bahwa ia kembali ke jawa pada tahun depan.

Lembu Mangkurat mencoba menganjurkan supaya puteri Kalungsu kawin lagi, ia mengabarkan, bahwa seorang sudagar muda turunan raja majapahit, muda dan cantik, sekarang tinggal di rumahnya. Muala-mula permaisuri membantahnya, tetapi kemudian akhirnya ia meminta supaya orang asing itu datang menghadapnya pada hari menghadap.

Dengan upacara kebesaran, pada ke esokan harinya Lembu Mangkurat dengan pakaian yang indah-indah dan tanda kebesaran menuju ke Sitiluhur. Dengan pakain yang indah-indah pula berjalan di sampingnya dengan tampan dan gagah Ki Mas Lelan. Apabila tiba di Sitiluhur, maka duduklah ia di belakang Lembu Mangkurat. Apabila puteri Kalungsu terpandang kepada pemuda yang cantik itu, puteri pun jatuh cinta asmara kepadanya. Dan apabila kemudian Lembu Mangkurat datang meminta jawaban, puteri kalungsu menyatakan persetujuannya. Sedang saudagar muda itu pun sudah menimbang-nimbang, menyatakan pula tidak keberatan.

Sebuah pedudusan didirikan dan tujuh hari tujuh malam lamanya perkawinan itu di rayakan menurut adat istiadat raja-raja yang sudah-sudah. Tetapi walaupun Ki Mas Lelan adalah keturunan raja Majapahit, ia tidak dapat di jadikan raja, karena ia tidak lahir kedunia karena tapa. Jika seandainya dari perkawinan itu lahir seorang putera, maka ialah yang akan di rajakan, karena ia dan ibunya berasal dari raja-raja yang lahir dengan cara kekuatan gaib. Dengan demikian, maka buat sementara lembu Mangkurat tetap wakil raja di Negaradipa.

Ketika pada suatu hari puteri kalungsu sedang membersihkan kepala suaminya, ia menampak sebuah tanda bekas luka dan menanyakan asal mulanya. Mula-mula ia menerangkan, bahwa ia sendiri tidak mengetahuinya, tetapi ketika isterinya selalu mendesak, akhirnya ia menceritakan bagaimana ia ketika masih kecil pada suatu hari menderita pukulan di kepala dari ibunya, sebab ia membikin gusar ibunya dengan meminta berulang-ulang juadah yang sedang di tanak. Di ceritakan pula bahwa ia kemudian melarikan diri dan beberapa tahun tinggal di jawa. Selain dari pada itu ia tidak tahu apa-apa. Dengan terperanjat puteri Kalungsu menolak kepala suaminya dari asuhan, “ Jika demikian, engkau adalah anakku sekar Sungsang”, Menjerit puteri Kalunsu. Ki Mas Lelana meniarap dengan menangis di kaki ibunya dan memohon ampun dan mengharap supaya membunuhnya.

Puteri kalungsu menyuruh datang Lembu Mangkurat dan kepada di ceritakan peristiwa yang mengejutkan itu. Lembu Mangkurat tidak mau mengambil keputusan, tetapi mengharap supaya permaisuri sendiri yang memutuskan, apakah yang harus dikejakan. Dengan ini permaisuri memutuskan bahwa mereka harus bercerai untuk selama-lamanya, dan permaisuri menukar nama anaknya dengan Raden Sari Kaburangan. Selanjutnya ia tinggal di suatu kampung lain.

Raden Sari kaburangan di nobatkan menjadi raja menurut kebiasan turun-temurun, dan ia mengenakan mahkota diatas kepala. Setahun kemudian raja memindahkan kerajaan kedudukan negara ke Muara Hulak. Kedudukan baru ini di sebut Negara Daha, dan sampai sekarang ini tempat itu masih masyur dengan nama Negara. Di Muara Bahan dibikin sebuah pangkalan, dan di negara pangkalan ini datanglah bertinggal saudagar-saudagar dari gujarat, tiongkok, melayu, makassar, bajau, sedang sedikit sekali yang tinggal di tempat pangkalan lama di Muara Rampiau.

Tidak beberapa lama kemudian hilang gaiblah Puteri Kalungsu yang tinggal di Negaradipa bersama-sama dengan lima ratus orang pengiring. Di dalam waktu itu pula Lembu Mangkurat meninggal dunia. Seabagai Mangkubumi diangkat seorang putera Ayra Megatsari yang bernama Arya Taranggana, seorang yang sangat cerdik bijaksana.
























BAGIAN II
ZAMAN ARYA TARANGGANA

1.       Maharaja Sari Kaburangan
a.      Kutara.
b.      Raden Sukarama dan Raden Bangawan.
c.      Amanat akan menghadapi banyak kesukaran.
d.      Maharaja Sari kaburangan gaib.
2.       Maharaja Sukarama
a.      Penobatan
b.      Empat putera raja yang sakti
c.      Amanat yang sulit
3.       Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung
a.      Raden Samudera menghindarkan diri.
b.     Mahkota yang berat.
c.      Pembunuhan Pangeran Mangkumi.
d.      Penobatan pangeran Tumenggung mengecewakan.
4.       Raden Samudera
a.    Keyakinan Patih Masih
b.    Pemindahan pusat perdagangan dari Muara Bahan ke Banjar.
c.    Pertempuran di hujung Halalak.
d.    Bantuan Demak.
e.    Pertempuran di Rantau Sangyang Gantung
f.    Perkelahian seorang melawan seorang.
5.       Pangeran Suriansyah
a.    Memeluk agama islam.
b.    Arya Taranggana menjadi Mangkubumi dan Hakim tinggi.
6.       Sultan Rakhmatillah dan Sultan Hidayatullah
a.    Utusan ke Demak dan Pajang
b.    Arya  Taranggana berpulang ke rakhmatullah.














Arya Taranggana, sebagai sebagai Mangubumi yang arifin menyusun kutara, peraturan tata negara. Sampai sekarang Kutara itu terkenal dengan nama Kutara Arya Tarnggana, pemerintahan. Maharaja Sari Kaburangan adalah sangat adil. Tiap-tiap hari sabtu dengan resmi di berikan kepada rakyat untuk menghadap, sebagai pula di zaman maharaja Suryanata, datanglah menghadap baginda kepala-kepala dari daerah Sakawang, Bunyut, Karasikan, Berau, Sambas, Sukadana, Belitung Lawai dan Kotawaringin. Juga Turunan Keling dan Gujarat yang ikut bersama datang dengan Empu Jatmika ke Negaradipa tinggal tetap setia kepada raja sari Kaburangan. Peraturan negara tetap susunan Negara Majapahit, sedang orang-orang jawa banyak pula yang tinggal tetap berdagang di Muara Bahan.

Dengan mengawini seorang puteri, anak seorang menteri, raja mendapat dua orang anak yang di namai Raden Sukarama dan Raden Begawan. Apabila telah dewasa, putera raja yang sulung kawin dwngan empat orang puteri semua anak menteri-menteri sedang putera yang bungsu kawin pula dengan seorang puteri menteri.

Pada suatu hari raja menitahkan supaya Arya Taranggana datang menghadap dan ia memberitahukan ia akan meninggalkan dunia. Raja meamanatkan pemeliharaan keluarga dan rakyatnya dan menerangkan pula bahwa mereka akan menghadapi banyak kesukaran. Kepada putera-putera baginda di pesankan supaya mempertahankan adat istiadat. Diperingatkan pula supaya jangan mengikuti orang asing dan jangan menanam lada dengan besar-besaran. Kemudian raja pun gaib dari pandangan mata rakyatnya.

Raden Sukmarama di nobatkan menurut adat istiadat yang telah lazim. Ia memerintah dengan setia mengikuti adat lama dengan di bantu Arya Taranggana. Maharaja Sukarama mempunyai empat orang putera yang bernama Raden paksa, Raden Panjang, Raden Bali dan Raden Mambang. Raden Bali adalah seorang putera raja yang kebal senjata, tidak di makan senjata. Rambutnya di sanggul karena panjang tidak dapat di gunting. Putera yang paling bungsu mempunyai kesaktian dapat melompat jauh (terbang). Ketika meraka telah dewasa, mereka mendapat gelaran masing-masing, ialah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung, Pangeran Bagalung dan Pangeran Jayadewa memperoleh seorang anak, tapi meninggal selagi kecil.

Dan kemudian gaib pula Pangeran Jayadewa. Seorang puteri dari Maharaja Sukmarama bernama puteri Galuh kawin dengan putera saudara raja Raden Bangsawan yang bernama Raden Mantri Jaya, Raden Jaya dengan Puteri Galuh mendapat seorang putera yang oleh neneknya di beri gelar Raden Samudera. Beberapa tahun kemudian Raden Samudera kehilangan ayah bundanya dan neneknya Raden Bangawan dan sejak itu maka Raden Samudera hidup di bawah pemeliharaan Maharaja Sukmarama.

Pada suatu hari Raja dihadapi oleh rakyatnya, Raja bersabda bahwa cucunya Raden Samuderalah yang kelak yang mengantikannya. Pangeran Tumenggung menjadi gusar dan ia menerangkan bahwa saudara-saudaranya atau ia sendiri yang berhak lebih dulu menjadi raja dari pada Raden Samudera. Karena Raja tidak bersedia untuk menarik perkataan, yang sekali telah dikeluarkannya, Pangeran Tumenggung menyatakan selanjutnya ia akan menjadi musuh seumur hidup Raden Samudera. Saudara Pangeran Bagulung setuju dengan pendirian Pangeran Tumenggung, sedang Pangeran Mangkubumi menyatakan menyerah kepada keadaan yang tidak dapat di singkiri.

Ketika Raden Samudera berusia tujuh tahun, Maharaja Sukarama telah meninggal dunia. Dan karena Arya Taranggana khawair, Raden Samudera tidak akan amakn dari penyerbuan paman-pamannya, ia menyuruh supaya Raden Samudera lari menghindarkan diri. Ia memberikan kepadanya sebuah perahu, sebuah jala, bekal makanan dan pakaian. Arya Tarnggana memberi nasehat supaya menghilir sungai, melalui Mura Bahan ke Serapat, Balandean, Banjarmasin atau Kuwin (kuin). Hendaklah ia dapat hidup dengan menagkap ikan. Jika ia mendengar bahwa ada orang-orang yang dikirim paman-pamannya datng didaerah kediamannnya, haruslah ia hendaknya menyembunyikan diri. Dengan demikian berangkatlah Raden Samudera.

Pangeran Tumenggung dan Pangeran Bagalung menyuruh orang mencari Raden Samudera kesana-sini tatapi buahnya hampa belaka. Sementara itu diselenggarakan upacara pemakaman jenah Maharaja Sukarama. Peti jenazah dengan segala tanda-tanda kebenaran dibawa didalam sebuah perahu ke Negaradipa dan di makamkan di candi. Apabila meraka kembali lagi di Negara Daha, maka ketiga putera Raja menjamu menurut adat istiadat segala menteri dan hulubalang. Sekarang Pangeran Mangkubumi akan dinobatkan . Ia meletakan mahkota dikepala, tetapi mahkota ini baginya adalah kekecilan dan terlalu berat pun kedua saudara Pangeran Tumenggung dan Pangeran balalung tidak pula berhasil mengenakan mahkota ini. Walau demikian Pangeran Mangkubumi ingin juga dinobatkan. Ia diusung didalam usungan menuju pandudusan dan disinilah ia akan dimandikan menurut adat.

Tatapi ketika senapan-senapan yang dibawa oleh Suryanata dari Majapahit ditembakan, maka senapan-senapan itu sebuahpun tidak yang berbunyi, Pun ketika dipalu gong Si Rambut Paradah dan di bunyikan gamelan Si Rarasati, suaranya kedengan sumbang dan tidak nyaring. Dengan terperanjat orang-orang menyaksikan peristiwa itu dan pulang kembali kerumah masing-masing.

Beberapa waktu kemudian Pangeran Bagalung pindah dengan dua ribu orang pengiringnya ke Berangas, di hilir dari Negara Daha. Tetapi tiap-tiap hari sabtu ia menghadap kakanda dan rajanya. Ia meninggal di Berangas dengan meninggalkan dua orang anak, sedang turun  temurunnya masih ada yang berdiam di Muara Rampiau dan Muara Bahan.

Telah lama perhubungan antara Maharaja Mangkubumi dan saudaranya Pangeran Tumenggung agak tidak baik (renggang). Pada suatu hari seorang punggawa raja bernama Saban telah berbuat yang tidak senonoh dengan panjogetan bernama si Harum bertempat didalam istana. Kejahatan ini menurut undang-undang harus ditebus hukuman mati. Peristiwa ini di dengar oleh Pangeran Tumenggung yang dengan segera mengambil keputusan akan menebus Saban dengan Uang, dengan maksud agar ia kelak dapat mengunakan saban sebagai alat setia di dalam menjalankan rencananya. Ia mengirimkan orang pesuruhnya dengan sepuluh tahil emas kepada raja, tetapi raja tidak mau meneriama uang tersebut dan memerdekakan Saban dengan tidak untuk ditebus. Pada suatu hari Pangeran Tumenggung bertanya kepada Saban apakah ia bersedia membunuh raja. Ia menerangkan bahwa selama maharaja Mangkubumi masih hidup, hidupnya Saban masih tetap terancam. Sebaiknya ia akan memperoleh segala yang diingininya jika Pangeran Tumenggung telah memperoleh kekuasaan. Saban menerangkan bahwa ia bersiap untuk itu, dan lalu dimulai mencari tipu muslihat.

Beberapa perempuan diperintahkan menghadap raja untuk memohon supaya mengampuni Saban, karena ia ingi sekali mengabdi kepada raja. Maharaja Mangkubumi mengabulkan permohonan ini dan Saban pu tinggal di istana. Ia berhasil memperoleh kepercayaan raja, yang mengawinkan dengan pejogetan. Rupanya Saban hampir telah lupa sama sekali dengan rencana pembunuhan, sehingga Pangeran Tumenggung berpendapat perlu memperingatkan perjanjiannya. Dengan ketakutan Saban mencari alasan-alasan, tetapi akhirnya ia berjanji pada malam ini juga membunuh raja. Pada malam ini Raja mengadakan perayaan. Ketika hari sudah subuh, dan banyak tamu-tamu telah mengantuk, maka Saban menikam Raja dengan keris malela yang di perolehnya dari Pangeran Tumenggung. Didalam huru hara ini seorang pun tidak ada berpikir mengejar si pembunuh, sehingga Saban dapat menyerberangi sungai dan lari ke pangeran Tumenggung. Walaupun didalam payah, Raja menunjukan bahwa yang berdosa adalah saudaranya sendiri. Raja meminta supaya Arya Taranggana memperlindungi puterinya Sari Bulan dari ganguan Pangeran Tumenggung.

Apabila Saban datang dihadapan pangeran Tumenggung, maka pangeran Tumenggung menyuruh membunuh Saban untuk menyembunyikan dosanya. Tapi tiap-tiap orang telah maklum bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya. Selanjutnya Pangeran Tumenggung pergi menyeberang sungai dan memerintahkan supaya Arya Taranggana membikin peti jenazah. Di dalam peti itu diletakan jenazah Raja yang terbunuh itu dan kemudian dengan perahu di bawa ke Candi dan disinilah di makamkan.

Penobatan Pangeran Tumenggung sebagai Raja terjadi dengan kejadian-kejadian yang menyedihkan seperti telah berlaku atas kakanda Raja. Mahkota kerajaan tidak dapat di pakai, gong dan gamelan berbunyi sumbang sedang senapan-senapan tidak mau berbunyi. Setelah menjadi Raja, maka anaknya Raden Bagawan di kawinkan dengan kemenakannya Puteri Sari bulan.



Diceritakan bahwa Raden Samudera bertualang ke hulu ke hilir, kadang-kadang di Sarapat, di Balendean, di Sungai Muhur, di Tamban, di Kuwin, di Banjar, di Sungai Belitung. Ia hidup dengan menjual ikan. Orang-orang banyak yang senang kepaada kepada Raden Samudera dan malah banyak orang yang ingin mengambil menantu.

Pada ketika itu berdiam di Banjar seorang terpandang dan dihormati oarang, bernama Patih masih. Patih Masih mendengar bahwa cucu Maharaja Sukarama telah lari dari pamannya Pangeran Tumenggung dan sampai kini belum juga di jumpai. Ia mengirim orang-orang untuk menyelidiki anak yang hilang itu. Pesuruh-pesuruhnya mendapat kabar mendapat kabar bahwa ada seorang anak yang cantik tampan yang bertualang di daerahnya, yang adat kelakuannya berbeda sekali dengan orang biasa dan oleh budi bahasanya ia di sayangi penduduk. Setelah lama di cari, anak itu di jumpai dan ia diharap supaya suka bersama-sama pergi ke Patih Masih. Ia berkata bahwa ia malu untuk berhadapan dengan seseorang terkemuka. Tetapi akhirnya Patih sendiri datang menjumpainyai. Walaupun anak itu berpakaian compang-camping , namun Patih Masih dapat menampak cahaya yang bersinar memancar keluar dari anak itu, yang menandakan bahwa ia keturunan bangsawan. Sesudah menolak berulang ulang akhirnya Raden Samudera ikut juga beserta Patih Masih.

Tiba di Banjar, Patih Masih menghormati Reden Samudera dengan segala kehormatan karena ia hanyalah dari orang biasa saja. Tetapi Patih Masih tidak mengindahkan segala keberatannya dan malah memberi tahu niatnya akan mengangkat Raden Samudera sebagai Raja. Patih Masih mengadakan satu pertemuan yang di hadiri oleh orang-orang terkemuka diantaranya Patih Balit dari Balandean, Patih Muhur dari dari Serapat, Patih Belitung dan Patih Kuwin. Meraka mengenali pemuda Raden Samudera sebagai anak yang datang membawa ikan dan tidak pernah dilupakan mereka karena rupanya yang luar biasa. Semua melahirkan persetujuannya dengan rencana Patih Masih.

Kemudian lalu diadakan perjamuan yang sangat mengembirakan sehingga banyak yang jatuh mabuk. Pada ketika itulah dengan tidak terasa Raden Samudera memuntahkan kata-kata bahwa ia selalu dikejar-kejar oleh Pangeran Tumenggung dan jika tidak pertolongan Arya Taranggana tentu ia telah lama mati di bunuh.

Segala patih-patih menjadi riang gembira ketika mendengar perkataan ini, karena mereka sekarang mengetahui bahwa Raden Samudera adalah sesungguhnya cucu dari Maharaja Sukarama. Dengan hikmat ia dirajakan dan diberi gelar Pangeran Samudera.

Atas nasehat Patih Masih diputuskan keesokan harinya pergi ke muara bahan untuk mengajak pedagang-pedang asing berniaga dan tingal di banjar, karena dengan itu terpindahlah pusat perdangagan dari muara bahan ke banjar. Ini dijalankan dengan kekuatan yang terdiri dari lima ribu tentara orang tentara. Mereka pergi memudiki sungai menuju ke muara bahan. Kedatangan ini mengemparkan sekali . Segala pedagag-pedang menyatakan bersiap sedia untuk mengikuti Raden Samudera ke Banjar, dan dengan demikian dilakukanlah pelayaran kembali.

Pangeran Samudera tinggal dirumah patih masih yang dibentuk menjadi istana. Susunan secara istana diatur, sedangkan beberapa barisan-barisan diadakan. Di sungai Kelayan diadakan pelabuhan yang sekarang disebut sungai pelabuhan. Sesudah ini semua selesai, maka Pangeran Samudera dimandikan dipadudusan. Dan karena mahkota, gong si rabut, gamelan si Rarasati, masih dimiliki oleh Pangeran Tumenggung, maka upacara ini belumlah dapat sama sekali mengikuti upacara kebiasaan. Patih masih, patih balit, patih balitung, patih kuwin, dan patih muhur masing-masing diserahi kewajiban yang penting. Agar dapat memelihara orang-orang Muhur dan Balendean dari serangan musuh dari pihak Pangeran Tumenggung, maka dititahkan supaya tinggal di Banjar.

Tidak beberapa lama kemudian Pangeran Samudera mendapat laporan bahwa pamannya sedang merencanakan menyerbu Banjar. Dengan segala kecepatan dibentuknya satu kekuatan satu angkatan perang. Pedangag-pedang asing membantu dengan kekuatan seribu orang tentara. Segala jurusan diberitakan bahwa Pangeran Samudera di Banjar menerima kekuasan kerajaan ke Timur sampai Kutei, Berau dan karasikan , ke barat sampai Lawai dan Sambas.

Walau telah diperingatkan oleh Arya Taranggana bahwa Pangeran Samudera adalah lebih besar daripada yang diduga oleh Pangeran Tumenggung, namun Pangeran Tumenggung melanjutkan juga rencana peperangannya. Dengan kekuatan tiga ribu orang tentara dan dan beberapa kutamara (benteng mengambang), ia berlabur ke hilir melalui Muara Bahan. Ketika mendapat kabar bahwa musuh datang mendekati, maka berangkatlah Pangeran samudera dengan perlengkapan kapalnya menyosong musuh. Diujung pulau Halalak (alalak) terbitlah pertempuran. Sesudah petempuran yang hebat tentara pangeran Tumenggung dapat dipukul mudur dengan meninggalkan tiga ribu orang yang jatuh binasa. Tentara Pangeran Samudera sebaliknya hanyalah menderta kerugian yang tidak berati.

Pangeran Tumenggung mengundurkan diri ke Negaradipa dan disini ia menyiapkan untuk expedisi penyerbuan baru. Arya Taranggana memperingatkan supaya hati-hati, karena Raden Samudera telah mengirim utusan sampai ke karasikan dan sambas. Dan tentulah dari segala pelosok akan datang mengalir bala batuan. Apabila setelah menderita kekalahan, semangat perjuangan tentara Pangeran Tumenggung jadi berkurang, sedang keberanian pihak musuh berkobar-kobar. Ia manasehatkan supaya memperkuat pertahanan kota dan mencoba hati rakyat. Raden Harja, putera pangeran bagalung bersama-sama pengiringnya juga mengambil sikap memperkuat pertahanan Negara Daha.

Dengan teratur Pangeran Tumenggung memerintahkan mengadakan pengintaian sampai ke Muara Rampian dan sebaliknya Pangeran Samudera mengirimkan pula pengintai-pengintai sampai Muara Bahan.

Berhubung dengan keadaan didalam perang ini maka perhubungan perdagangan antara dalam negeri dan daerah-daerah ditepi pantai menjadi terputus sehingga kedua belah pihak menderta kesukaran didalam beberapa macam bahan makanan. Didalam menderita kesukaran ini Patih Masih menganjurkan kepada Pangeran Samudera supaya meminta bantuan kepada Sultan Demak, raja yang paling besar kekuasaannya sesudah kerajaan Majapahit runtuh. Pangeran Samudera setuju anjuran ini. Patih Balit diperintahkan menjadi utusan dengan membawa sepucuk surat untuk disampaikan kepada Raja Demak. Apabila telah selesai perlengkapan maka berangkatlah Patih Balit dengan sepuluh buah kapal dan empat ratus orang anak buah. Dengan tidak suatu halangan mereka sampai ke Demak. Ketika raja mendengar bahwa ada utusan raja dari Banjar. Raja Demak pun memerintahkan supaya Patih Balit dibawa menghadap ke paseban. Dengan segala tanda-tanda kebesaran, utusan datang menghadap dan menyerahkan surat dari rajanya.

Sesudah mangkubumi selesai membaca surat tersebut Sultan Demak pun menerangkan dengan segera bahwa ia sanggup memberikan bantuan kepada banjar dengan perjanjian bahwa Pangeran Samudera akan masuk islam. Patih Balit kembali ke Banjar dengan banyak membawa hadiah. Pangeran Samudera setuju dengan perjajian yang diajukan itu dan mengirimkan lagi utusan untuk memberitahukan hal ini kepada Sultan. Sultan memberikan bantuan seribu tentara yang bersenjata lengkap dan mengirimkan pula seorang pengulu islam.

Ketika bala bantuan Demak tiba di banjar, disana telah terbentuk satu tentara yang besar, segala daerah di Kalimantan yang sejak zaman Suryanata telah tunduk, mengirimkan bala bantuan kepda Pangeran Samudera. Bala bantuan itu datang dari Sambas, Batang lawai, Pasir, Pamukan, Laut pulau,Satui, Asem-asem, Kintap, Sawarangan, Tambangan laut, Tangkisong dan Tabanio. Kekuatan tentara Pangeran Samudera berjumlah empat puluh ribu orang sedang pedagang-pedagang asing dari melayu Bugis Makasar dan jawa menyangupkan bantuan dengan sekuat tenaga.

Dengan kekuatan yang besar tentara berangkat menyongsong air mengalir, sedang gamelan dipalu  dengan gembira. Pangeran Samudera turut pula berangkat dengan kedudukan didalam sebuah gurap yang diperhiasi dengan tanda-tanda kebesaran diiringi oleh Patih Masih, Patih Balit, Patih Balitung, Patih Muhur, dan Patih Kuwin, masing-masing dengan lencana kebesaran. Pertempuran hebat terjadi didekat Rantau Sangyang Gantung. Bala tentara Pangeran Samudera berhasil menembus benteng pertahanan musuh walaupun ia menderita agak banyak kerugian. Musuh akhirnya melarikan diri. Pengejaran terhadap musuh dilakukan sampai ke Negara Daha. Segala penduduk Negara Daha dengan tergesa-gesa menarik diri dan masuk didalam benteng pertahanan yang terdapat disamping pertemuan Bantang Alai dan Batang Hamandit. Karena disini sungai terlalu sempit untuk dilayari.

Pangeran Samudera menitahkan tentaranya supaya berhenti ditempat itu. Sekonyong-konyong bertiup angin ribut, dan angin taupan ini menumbangkan bendera-bendera dan tongkak panji-panji Pangeran Samudera yang melukiskan seekor kera putih dengan dasar hijau hitam. Seketika itu juga  beralih kemenangan dipihak musuh. Banyak tentara Pangeran Samudera tewas binasa. Pada ketika itu Patih Masih memberikan petunjuk supaya menebang pohonjingah dan menanam pokok pohon ini untuk mengibarkan bendera raja. Apabila pekerjaan ini selesai, dengan keberanian baru tentara Pangeran Samudera menyerbu kembali dan banyak mendatangkan kerugian kepada musuh.

Berhubung dengan permusuhan yang berjalan telah sangat lama sehingga kemungkinan Negara terancam bahaya akan runtuh binasa, maka Arya Taranggana pergi menghadap Pangeran Tumenggung ia menunjukan akibat dari peperangan keluarga dan peperangan saudara. “Apakah gunanya menjadi raja, kalau akhirnya tidak seorang rakyat lagi juapun yang ketinggalan?” berkata Arya Taranggana. Ia mengusulkan supaya raja dan Pangeran Samudera mengadakan perjuangan seorang guna mengambil putusan. Dengan secara demikian pula ia dan Patih Masih akan menentukan siapakah yang akan menjadi mangkubumi. Pangeran Tumenggung menyetujui usul ini dan Arya Taranggana menyampaikannya kepada pangeran samudera. Juga pangeran samudera setuju atas usul ini dan perkelahian seorang melawan seorang itu ditetapkan akan dilakukan pada keesokan harinya.

Pada jam yang ditentukan belayarlah dua buah perahu disungai Negara Daha. Perahu itu dekat mendekati. Sebuah perahu ditumpangi oleh Pangeran Tumenggung dan Arya Taranggana sedang sebuah lainnya ditumpangi oleh Pangeran Samudera dengan Patih Masih ketika kedua perahu itu telah berdekatan, maka Pangeran Samudera meminta supaya pamannya memulai perkelahian.

Ia sendiri tidak mau mengangkat senjata terhadap pada pamannya, karena ia menganggap pamannya sebagai penganti ayahnya. “Tunjukkanlah senjata paman lebih dahulu kepadaku!” katanya, Pangeran Tumenggung merasa hancur luluh hatinya dan dengan menangis ia pergi menuju kemanakannya dan memeluknya. Pada ketika itu juga diadakan perdamaian.

Pangeran Tumenggung membawa kemanakannya ketempat kediamannya. Disini ia menyerahkan lencana kerajaan dan segala harta benda yang beharga peninggalan Pangeran Mangkubumi. Sesudah itu ditetapkanlah dengan upacara penobatan Pangeran Samudera menjadi raja. Setelah segala upacara dan perayaan selesai. Pangeran Samudera pulang kembali dengan membawa serta Arya Taranggana dan penduduk Negara Daha (sekarang Nagara). Hanya seribu orang diperkenankan tinggal untuk menjaga negeri. Pangeran Tumenggung mendapat daerah Batang Hamandit dan Batang Alai. Nama dari Negara Daha itu masih terdapat sampai sekarang dikota kecil Negara (Nagara). Pohon jingah tempat mengibarkan bendera  Pangeran Samudera masih terdapat sampai sekarang ini dan apabila diwaktu angin teduh salah satu cabangnya patah, maka ini adalah satu pertanda bagi penduduk Negara, bahwa ada keluarga raja (perdipati) meninggal, sedang jika puncaknya yang patah, maka itulah tanda meninggal dunia seorang raja.

Ketika Pangeran Samudera telah kukuh teguh berkuasa di Banjar, maka dengan pertolongan penghulu dari Demak, di-islamkanlah segala penduduk. Disaat itu seorang yang baru datang dari negeri Arab memberikan gelar kepada Pangeran Samudera : Suriansyah (Surian=Allah) penghulu dan tentaranya kembali kenegerinya, masing-masing dengan mendapat hadiah yang memuaskan. Selain dari pada itu kepada mereka diberikan pula hasil bumi yang sangat banyaknya. Sampai sekarang turun-turunnya masih terdapat berdiam di Demak dan Tedunan.

Demikian pula tentara-tentara bantuan dari daerah-daerah di kalimantan pulang kembali ketempatnya masing-masing. Tiap-tiap musim barat sesudah itu datanglah orang-orang dari Sebagau, Mendawai, Sampit, Pembuang, kotawaringin, Sukadana, Lawai dan Sambas mengantar upeti , sedang musim timur datanglah penduduk Tangkisong, Tambanan laut, Kintap, Asem-asem, Laut pulau, Pamukan, Pasir, Kutei, Berau dan Karasikan.

Arya Taranggana dijadikan Mangkubumi yang juga menguasai Lelawangan dari negeri-negeri yang takluk. Hanya ia yang diperkenankan mengeluarkan vonis hukuman mati, sedang Patih Masih mempunyai hak untuk memberi keputusan menyita barang-barang guna negara. Patih Balit, Patih Belitung, Patih Kuwin, Patih Muhur diangkat menjadi jaksa. Didalam mengadili sesuatu perkara dipakai sebagai pedoman Kutara, undang-undang yang disusun oleh Arya Taranggana, yang memeang sejak itu telah berlaku. Dimasa itu kerajaan Banjar mempunyai bala tentara tiga puluh ribu orang yang lengkap alat senjatanya. Tiap-tiap tahun Raja mengirim utusan seorang menteri yang tertinggi menghadap Demak. Sebagai biasa tetap diikuti adat istiadat jawa dan dilarang menanam lada untuk perniagaan. Lagi pula tiap-tiap hari sabtu Sultan Suriansyah tetap memberikan kesempatan untuk menghadap.

Sesudah beberapa lama kemudian, Rajapun mangkatlah baginda meninggalkan dua putera. Jang Sulung dijadikan raja dengan gelar Sultan Rachmatillah. Raja inipun selalu mengirimkan utusan ke Demak sebagai penghormatan. Sesudah meninggal Sultan Demak, maka termasyur sultan Pajang yang bergelar Sultan Surya Alam dan kepada sultan inilah banyak tunduk negara-negara di Jawa.

Ketika itu selanjutnya tidaklah Banjar mengirimkan lagi utusannya kepada raja di Jawa. Sultan Rachmatullah mangkat dengan meninggalkan tiga orang putera dan putera paling sulung Sultan Hidayatullah dinobatkan menjadi raja, putera lainnya Raden zakaria dan pangeran Demang.

Sementara itu Arya Taranggana dan punggawa-punggwa tinggi Suriansyah sudah berpulang kerahmatullah. Mangkubumi Kiai Anggadipa menjalankan peraturan Al-Qur’an, adat isitiadat turun-temurun dan hukum tata tertib lama, Sultan Hidayatullah mempunyai empat orang isteri dan selain dari pada itu mempunyai pula empat puluh orang gundik.






ZAMAN MARHUM PANEMBAHAN

1.  RANGGA KUSUMA
     a. Kekacauan dalam negeri
     b. Rangga kusuma difitnah dan dibunuh
     c. Perbuatan ajaib dari raja
     d. Mematahkan serangan Belanda

2. Memindah ibu kota
    a. Perhubungan dengan Pasir
    b. Martapura menjadi ibu kota
    c. Pembebasan upeti
    d. Sumpah Sultan Mataram





BAGIAN III


ZAMAN MARHUM PENEMBAHAN

SESUDAH meninggal Sultan Hidayatullah, maka timbulah agak kekacauan dalam negeri. Salah seorang putera raja bernama Rangga Kusuma mengumpulkan orang-orang Biaju dan atas perintahnya membunuh punggawa-punggawa Kiai Wangsa, kiai wangsa, kiai Kanduruan, Kiai Jagabaya, dan Kiai Lurah Samun bersama-sama segala keluarganya kecuali perempuan dan anak-anak. Segala harta benda pungawa-pungawa itu dibagi-bagi antara orang-orang Biaju itu. Salah seorang dari Biaju itu bernama Sarang tinggal di Banjar. Ia memeluk islam dan kawin dengan seorang saudara tiri dari raja baruyang bergelar Marhum Panembahan (Musta’inbillah). Karena itu ia diberi gelar Nanang Sarang.

Raja sangat sayang kepada Raden Rangga Kusuma. Berhubung dengan itu banyak sekali keluarga merasa iri dengki kepadanya. Mereka mengadakan suatu rapat dan membongkar segala kesalahan Rangga Kusuma. Mereka menuduh Rangga Kusuma merusak Kepercayaan yang dicurahkan oleh seisi istana dan akhirnya mengadukan soal-soal itu kepada raja. Mereka berhasil mengerakkan dan mempengaruhi Marhum Panembahan mengambil keputusan menitahkan membunuh Rangga Kusuma. Seorang algojo bernama Wirayuda diwajibkan menjalankan keputusan hukuman mati itu. Dengan tenang rangga Kusuma menanti nasip yang menimpanya. Wirayuda menikam tiga kali dengan keris didada Rangga kusuma, tetapi tidak dapat melukainya. Barulah setelah Rangga Kusuma sendiri tiga kali mengusap ujung keris itu, keris itu dapat ditikam kedalam badan Rangga Kusuma kira-kira satu jari dalamnya. Tetapi setitik darahpun tidak ada mengalir dari tubuhnya. Rangga Kusuma Menyuruh memberi tahukan kepada raja, bahwa ia maklum, bukanlah raja tetapi keluarganya sendiri, yang menghendaki supaya ia tewas. Walau dengan hati yang patah. Raja menitahkan juga menjalankan keputusan dengan menggencet jalan nafas. Keputusan ini dilakukan dan kemudian mayatnya dibawa keistana.

Untuk menghibur diri dan melupakan segala kesedihan Marhum Panembahan pergi menjala ke Serapat. Pada waktu itu jalanya terkait dan tidak dapat seorang jaupun melepaskannya. Oleh karena sebab itu raja sendiri terjun menyelam kedalam air dan tidak timbul lagi. Pengiringnya menjadi sangat gelisah dan kemudian terpaksa kembali untuk mengabarkan peristiwa yang menyedihkan itu. Tetapi beberapa besar keheranan mereka, ketika mereka datang diistana dan menjumpai rajanya. Pada suatu waktu raja mengulangi lagi berbuat perbuatan ajaib ini.

Peraturan pemerintahan dizaman ini masih dizaman Suryanata Mangkubumi adalah orang yang mempunyai pangkat yang paling tinggi dengan dibantu oleh seorang perwira dan seorang Panganan.
Jabatan lainnya antaranya, penghulu empat orang jaksa, Tuan khalifah dan tuan khatib. Peraturan negara diatur menurut Nitisatra dan Prayogakrama.

Pada suatu hari didalam suatu upacara resmi, raja menguraikan pendapatnya bahwa adalah sebaiknya ibu kota pindah dari Banjar kedaerah yang lebih udik, karena kota sekarang sangat berdekatan dengan laut dan karenanya mudah diserang oleh musuh. Pendapat raja ini tidak mendapat perhatian umum.

Dua tahun kemudian datanglah orang-orang Belanda dengan empat buah kapal. Mereka berlabuh disebelah ilir pulau Kembang dan dari sana menebaki kota Banjar yang akibatnya menerbitkan banyak kegaduhan. Beberapa orang menerangkan bahwa mereka sangup membinasakan orang-orang Belanda itu. Tetapi mereka dilarang oleh raja untuk berbuat demikian. Ia merencanakan cara lain untuk menundukkan orang-orang Belanda itu.

Atas perintah raja, penduduk disuruh meninggalkan kota Banjar dan membikin pertahanan di Pamakuan, dan dari sini dapatlah mengadakan perlawan dengan berhasil terhadap serangan Belanda.

Sesudah sepuluh tahun tinggal di Pamakuan, lalu berpindah ke Amuntai. Disini tidak didirikan kraton, karena Marhum Panembahan mendengar suara gaib Pangeran Suryanata yang memperingatkan supaya tidak mendirikan ibu kotakerajaan ditempat ketinggalan yang sama, tetapi hendaknya haruslah pindah kedaerah Batang Mangapan, ketika itu dipilih Tambangan sebagai tempat kediaman, dan disini sesudah sepuluh tahun pindah lagi ke Batang Banyu.

Ki Lurah Cucuk mendapat perintah pergi ke Pasir guna menjemput Haji Tunggal dengan keluarganya. Seorang puteri dari Haji Tunggal dikawinkan Marhum Panembahan dengan Dipatinggending.

Pada suatu hari ketika Marhum Panembahan menghilang diri. Sepuluh hari kemudian  datang kembali dan menitahkan menebang pohon-pohon kayu dilapangan Muara Halangan dan mendirikan Masjid dan istana ditempat itu. MarhumPanembahan telah pergi berkeliling keseluruh daerah tetapi tidak ada satu tempat juapun yang diangap lebih baik dari pada tempat yang telah dipilih itu. Marhum Panembahan meramalkan anak cucunya akan ditimpa malapetaka, jika mereka meninggalkan tempat itu, yang dinamakan Martapura. Rakyat sekalian berpindah ke Martapura, yakni sesudahnya sepuluh tahun tinggal di Batang Banyu. Di waktu itu datang kembali Ratu Bagus (Putera Raja Hidayatullah) dari Tuban, karena Tuban telah ditaklukkan oleh Mataram.

Seorang putera dari ratu Bagus dari Sukadana bernama Raden Saridewa datang ke Martapura untuk dikawinkan dengan puteri Gilang. Puteri Gilang adalah cucu dari Marhum panembahan, anak Pangeran Dipati Anta Kusuma. Pada perkawinan ini orang-orang dari Sukadana ada yang melakukan pencurian sehingga banyak dari pada mereka yang ditikam. Sejak  waktu itu terdapat pencurian di Martapura. Dizaman itu Marhum Panembahan menghadiahkan semua upeti sukadana kepada cucunya Puteri Gilang, sehingga sukadana selanjutnya bebas dari kewajiban mengirim upeti kepada Raja Banjar.

Disaat itu pula Kotawaringin diserahkan kepada Dipati Anta Kusuma. Dipati Anta Kusuma memerintahkan Dipatinggending untuk memerintah disana atas namanya.

Seorang putera raja bernama Raden KusumaTaruna memperoleh seorang putera digelari Raden Buyut kusuma Banjar. Sedang puteri Gilang melahirkan seorang putera dinamai Raden Buyut Kusuma Mantan.Tidak lama anaknya lahir ia meninggal dunia. Apabila anaknya sudah tidak menyusu lagi maka Raden Saridewa kembali ke Sukadana sedang anaknya diserahkannya dibawah pendidikan Dipati Anta Kusuma di Martapura.

Arya Mandalika dari Pasir yang asal-usulnya dari Giri sedang ibunya adalah anak dari Haji Tunggal, kawin dengan Puteri Limbak, seorang cucu dari Marhum Panembahan. Oleh perkawinan ini raja menghadiahkan upeti Pasir, sehingga selanjutnya pasir tidak perlu lagi mengantar upeti.

Ketika Kiai Martapura pergi ke Makasar, maka Kraing Patigaloang yang memerintah disana, memohon kepadaMarhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di Pasir, Raja memperkenankan permohon ini dan selain dari pada itu menyerahkan pula desa-desa Satui, Asem-asem, Kintap, Sawarangan, dan Banacala Balang. Sejak dizaman itu pula, Pasir, Kutei, dan Berau tidak lagi membayar upeti ke Martapura.

Diceritakan pula bahwa raja Sambas datang mempersembahkan dua butir intan, sebuah sebesar buah tanjung yang dinamai si Giwang, sedang sebuahnya lagi sebesar telur burung merpati yang dinamai si Misan. Raja Banjar menerima persembahan ini dan membebaskan Sambas dari kewajiban mengantar upeti pada tiap-tiap tahun.

Sebagai Mangkubumi pada waktu itu ialah Kiai Tumenggung Reksanegara. Ia dikirim oleh Marhum Panembahan bersama-sama dengan Pangeran Dipati Tapasana, seorang dari anak bungsu dan Kiai Narangraya ke Mataram untuk menyerahkan intan si Misam. Selain dari pada itu mengirim pula muatan terdiri dari hasil bumi, lada, rotan, barang nyaman dan lilin. Sultan Mataram menyambut pemberian ini dengan sangat gembira dan bersumpah bahwa jika ia atau turun-temurunnya berbuat jahat terhadap Matapura, maka tuhan akan mengutuki mereka sebagai pembalas pemberian itu, diberikan beras, gula, asam, garam,bawang merah, bawah putih, dan minyak. Apabila utusan-utusan tiba kembali maka mereka oleh Marhum Panembahan dikarunai pula hadiah-hadiah yang mengembirakan.




BAGIAN IV


ZAMAN RAJA-RAJA DI MARTAPURA

1. Sultan Inayutullah dan Saidu’llah
    a. Buyut
    b. Sikap Pangeran Martasari
    c. Ratu Kotawaringin

2. Pangeran Ratu dan Ratu Sultan Amirullah Bagus Kusuma
    a. Wali raja
    b. Menuntut hak Raden Bagus dan Raden Basu
    c. Raden Bagus menjadi raja





ZAMAN RAJA-RAJA DI MARTAPURA

SETAHUN kemudian Marhum Panembahan meninggal dunia, sebagai penganti ialah putera yang paling sulung pangeran Dipati Tuha yang naik ditahta kerajaan dengan gelar Sultan Inayatullah. Baginda lebih termasyur dengan gelaran Ratu Agung . Sepuluh orang cucu dari Marhum Panembahan disebut “buyut” . Rakyat tidak diperkenankan menyebut turunnya dengan nama demikian. Raden Buyut Kusuma Banjar barulah berumur kira-kira tujuh tahun (baru ganti gigi), ketika nenekda baginda meninggal dunia.

Pemerintahan Inayatullah masih tetap mengikuti peraturan-peraturan raja-raja yang terlebih dahulu. Yang menjabat Mangkubumi  masih tetap Kiai Tumenggung Raksanegara. Salah seorang pungawa bernama Pangeran Martasari, menghindarkan diri ke Mandawai, dan mencoba dengan pertolongan Mataram menantang raja. Tetapi ia kemudian mati  di Mandawai. Pangeran Dipati Anta Kusuma mendapat gelar Ratu Kotawaringin. Ratu Kotawaringin menerima dari raja daerah-daerah disebalah barat dari banjar sampai daerah Jalai. Dengan cucunya Raden Buyut Kusuma Matan, Ratu Kotawaringin meninggalkan Martapura dan mendirikan di Jalai satu kota yang dinamai Sukamara dan sesudahitu barulah ia menetap di Kotawaingin.

Pada tahun ketujuh dari pemerintahannya, Raja Inayatullah mengirim utusan untuk minta supaya adinda Raja Kotawaringin datang lagi di Martapura. Ratu Kotawaringin harus lebih dulu menyelesaikan beberapa perkara, karena cucunya Raden Buyut Kusuma Matan diminta oleh Raden Saridewa supaya datang ke sukadana. Raden Buyut Kusuma Matan di Sukadana terkenal dengan gelar yang diberikan  nenekda Pangeran Putera.

Pada waktu itulah meninggalnya raja Martapura. Saudara raja pangeran Didarat (dulu bernama Pangeran Dipati Anom) suka menjalankan pemerintahan tetapi tidak berani jika tidak setahu paduka kakanda Ratu Kotawaringin. Oleh karenaitu ia mengirim utusan supaya Ratu Kotawaringin datang di Martapura. Ratu Kotawaringin berangkat ke Banjar sedang anaknya Pangeran Mas Dipati harus tinggal di Kotawaringin.

Di Banjar, Pangeran Kusuma Alam, putera dari raja yang meninggal dunia, menyerahkan segala lencana dan tanda kebesaran kepada pamanda Ratu Kotawaringin, seperti gamelan si Raraswati, gong si Rambut Paradah, bebende si Macan, Perpatuk si Mundarang, tombak si Panutus dan keris si Masagiring dengan permohonan supaya suka menjadi raja. Ratu Kotawaringin menyambut segala lencana dan tanda kebesaran raja , tetapi mengambil keputusan akan berembuk lebih dahulu di Martapura. Disini telah berkumpul beberapa anggota dari keluarga raja. Sidang diadakan untuk membicarakan pengantian raja, pendapat berlain-lainan.

Satu golongan hendak merajakan Pangeran Didarat (saudara Ratu Kotawaringin), sedang golongan lain memilih Ratu Kotawaringin. Akhirnya Ratu Kotawaringin mengambil keputusan yang tidak boleh dibantah lagi, ia memilih kemenakannya Kusuma Alam untuk dinobatkan menjadi raja. Kusuma Alam diharap datang dan oleh Ratu Kotawaringin diberi tahukan keputusan yang telah diambil. Dengan susah payah untuk mengambil hati Kusuma Alam, karena ia menolak untuk dirajakan, tetapi akhirnya ia terpaksa juga menyatakan persetujuannya. Sesudahnya diadakan pembicaraan-pembicaraan lebih lanjut, barulah semua keluarga semupakat. Pun Pangeran Didarat menyatakan pula persetujuannya.

Kepada Kusuma Alam diserahkan kembali segala lencana dan tanda kebesaran kerajaan. Ia dinobatkan menjadi raja dengan didudus (dimandikan) oleh paman-paman dan nenekda, Raja ini terkenal dengan gelaran Ratu Anom. Gelaran yang lain ialah Sultan Saidu’llah. Pangeran Didarat mendapat gelar Panembahan Didarat dan menjadi mengkubumi di Martapura. Lima tahun kemudian ia meninggal dan diganti oleh Ratu Kotawaringin bergelar Begawan. Lima tahun kemudian Ratu Begawan memohon berhenti dari jabatanya. Ia digantikan oleh Dipati Tapasana yang juga putera dari Marhum Panembahan, dan ia sebagai Dipati Mangkubumi menjalankan pemerintahan di Martapura.

Sesudah memerintah lima belas tahun lamanya, Ratu Anom mangkat. Dua tahun sebelaumnya telah meninggal Ratu Bagawan. Ratu Anom meninggalkan dua putera yang masih belum dewasa ialah Raden Bagus dan Raden Basu. Atas usul dari Ratu Hayu, puteri dari Marhum Panembahan dan bibi dari raja yang telah meninggal, maka pengeran Mangkubumi (Tapasana) dijadikan raja sementara Raden Bagus belum dewasa. Ketika ia naik tahta kerajaan, ia bergelar Ra’yatillah. Tetapi raja ini lebih terkenal dengan gelaran Pangeran Ratu. Pangeran Mas Dipati dijadikan Mangkubumi dengan Kartasatu sebagai Pangiwa.

Diceritakan kemudian perkawinan  Raden Subangsa, saudara Pangeran Singamarta (Pangeran Singamarta anak oleh Ratu Hayu, cucu Marham Panembahan) yang pergi ke Sumbawa, disini ia kawin dengan puteri Raja. Isterinya meninggal setelah melahirkan seorang putera, yang diberi nama Raden Mataram. Kemudian ia kawin lagi dengan puteri Raja itu di Sumbawa dan disini ia mendapat seorang putera yang dinamai Raden Banten. Bagi orang-orang Selapang dan Sumbawa, Raden Subangsa terkenal dengan nama Pangeran Taliwang, karena ibunya Raden Mataram tinggal Taliwang.

Raden Bagus dan Raden Basu tinggal berdiam di Halalak (Alalak). Pangeran Dipati Anom, adinda dari raja yang meninggal,mengirimkan dua utusan yang dipercaya yakni Raden Panjangjiwa dan Kiai Sutajaya kepada orang-orang Biaju dengan membawa perintah supaya mereka ikut membantu didalam melaksanakan cita-citanya untuk meminta kembali kekuasaan pemerintahan  dari Pangeran Ratu untuk kedua orang kemenakannya. Mereka semua menyatakan siap sedia, dan tiga ribu orang Biaju berlabuh dengan perahu. Selain dari pada itu, banyak penduduk-penduduk desa yang mengabungkan diri dengan Pangeran Dipati Anom.

Panjangjiwa pergi kepada Mangkubumi Pangeran Mas Dipati untuk menyampaikan permohonnya tuannya menghadap raja. Raja ada di Banjar ketika menerima berita ini. Sesudah Bermusyawarat dengan dewan-dewan kerajaan, ia mengambil keputusan akan kembali ke Martapura. PangeranDipati Anom menunggu dengan sia-sia kabar  dari Mangkubumi, dan lalu mengirim seorang penyelidik ke Banjar untuk menyelidiki apa yang terjadi. Sesudah ia mendapat keterangan, bahwa raja tidak ada lagi diistana, maka ia berangkat dengan lima ratus orang pengiring ke Kayutangi. Disana Raden Panjangjiwa berjumpa dengan raja. Atas nama tuannya ia meminta segala lencana dan tanda kebesaran kerajaan dan segala isi keraton guna Raden Bagus. Pangeran ratu lebih dari dahulu hendak bermusyawarat dengan segala Pungawa dan anaknya Arya Wiraraja. Pangeran Ratu lalu mengadakan sidang dan meminta petunjuk-petunjuk mereka.  Pendapatan terbagi-bagi, satu golongan menerangan perasaan cemburu atas maksud –maksud Pangeran Dipati Anom, sedang yang lain setuju memenuhi permintaan itu. Akhirnya Raden Bagus menjadi juga raja dengan gelar Ratu Sultan Amirullah Bagus Kusuma.

Wallahu’alam,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar